silhouette of mountain under the moon covered with clouds

Moderasi Penentuan Awal Bulan Yang Berkemajuan

Avatar photo

Abdullah A Afifi

⛊Bey Abdullah Tan Jabok Bio Aktifitas: https://arifabdullah.id | Telegram: https://t.me/beyabdullah

Penulis termasuk yang beruntung besar ditengah-tengah buku-buku akademik milik orang tua yang memang akademisi. Perbincangan mengenai fikih bukan hal yang tabu, karena mungkin tidak sengaja diminta merapikan-rapikan tulisan pribadi dan naskah-naskah akademik rekan-rekannya.

Walaupun konsentrasi penulis di sains, nampaknya memang ada sedikit juga sedikit hasil dari didikan orang tua dan guru-guru agama yang berbekas. Insyaallah menjadi jariyah untuk para masyayikh semuanya. Alhamdulillah ada dua tulisan, semoga bisa memberikan sedikit kontribusi dalam khazanah ini.

https://osf.io/4q58m/
Panduan Ringkas Berpuasa di dalam Islam: Fiqh Puasa dan Metode Falak (Afifi Fauzi Abbas & Abdullah A Afifi)

http://pub.darulfunun.id/index.php/imam/article/view/12
Moderate Way Implementing Rukyah and Hisab to Determine A New Moon in Ramadan (Abdullah A Afifi & Afifi Fauzi Abbas)

Sejauh ini ada dua pandangan dominan tentang penentuan awal ramadhan:
1. Wujudul Hilal (Sudut 0 derajat)
2. Rukyatul Hilal (Maksimal sudut 2 derajat, yang terbaru negara Mabims per 2022 bersepakat menjadi 3 derajat)

Dengan dua metode ini sebetulnya sudah terlihat hasilnya akan berbeda. Baik metode satu dan metode dua sebetulnya valid, dan memiliki pendekatan.

Perhitungannya bagaimana? sama saja keduanya, zaman sekarang sudah banyak yang pakai aplikasi atau google. Yang berbeda adalah menyikapi hasilnya dengan menerapkan kondisi tambahan.

Sebagai orang awam (orang yang tidak memiliki otorisasi atau birokrasi terhadap kebijakan terkait) sebetulnya ada hal yang perlu dipahami sebagai tambahan, yakni terkait:

1. Perundangan pemerintah (syariah / hukum)
2. Otorisasi (orang / badan / majlis yang memberikan keputusan)

dan yang tidak kalah penting, sampai saat ini penetapan awal bulan diterapkan menggunakan konsep “wilayat al-hukm” (hukum berlaku di kawasan hukum terbatas), sebab itu diusulkan pendekatan baru yang disebut “rukyat hilal global”.

Jika mau menangkap ide ini digulirkan bukan berarti bulan terlihat di Mekkah serta merta di Indonesia juga sudah hilal. Tapi memberikan satu pendekatan kasus dimana ada satu daerah yang memiliki “wilayat al-hukm” berbeda tapi bersebelahan tapi mengikut keputusan pemerintah yang berbeda. Seperti sebagian pulau Sumatera yang memiliki lintang yang sama dengan semenanjung di Malaysia (untuk perhitungan bulan baru).

Solusinya rukyat hilal global arahnya akan menggunakan pembatasan “wilayat al-hukm” dan menggunakan referensi garis lintang dan bujur.

Contoh “wilayat al-hukm” yang sedikit sulit adalah di Indonesia yang memiliki 3 wilayah jam (WIB, WITA, WIT), yang setiap wilayah ini saja sudah melintang jauh dan berada di khatulistiwa. Yang artinya perubahan lintang beberapa derajat saja akan sangat menentukan.

Sebagai contoh waktu adzan di Kualalumpur dengan di Payakumbuh hanya terpaut beberapa menit saja, sedangkan Payakumbuh dengan Jakarta bisa terpaut hampir 30 menit. Dan yang menariknya juga, pada adzan yang bersamaan tersebut, di Kualalumpur jam 7.20 dan di Payakumbuh 6.20. Kita memiliki dua rasional yang menjadi relatif satu sama lain. Bagaimana wilayah yang waktu azannya sama memiliki penanda waktu yang berbeda, dan sebaliknya.

Kembali bagaimana menyikapi hal ini sebagai awam, yang termudah adalah mengikuti hukum yang berlaku di daerah domisili. Jika di Malaysia yang negara Islam keputusan akan satu walaupun tanggapan yang berbeda-beda akan ada pada sidang isbath.

Sedangkan di Indonesia yang bukan negara Islam tetapi negara Pancasila, dimana negara memfasilitasi ibadah tetapi tidak mengatur peribadatan secara mutlak, maka walaupun ada keputusan pemerintah sifatnya tidak mengikat. Baik ormas, kelompok, majlis, pondok pesantren, madrasah, bahkan individu bisa mempertimbangkan juga pandangannya sendiri jika mampu, tapi tidak dianjurkan.

Tapi satu hal yang juga harus dipertimbangkan, jika menganut “wilayat al-hukm”, bukankah artinya titik prioritas pengamatan juga harus dipertimbangkan. Semakin ke barat artinya semakin valid karena melihat bayang-bayang yang datang terdahulu. Walaupun titik-titik pemantauan hilal berada di banyak daerah, penentuan keputusan berada di Jakarta yang jarak dengan titik terawal jatuhnya bayang-bayang bulan cukup jauh.

Ada banyak kompleksitas dalam melihat hal ini, tentunya yang terbaik adalah keputusan yang memiliki justifikasi kuat. Wujudul hilal dengan sudut nol derajat menurut penulis sangat kuat, sehingga kita perlu carikan alasan kenapa harus memberikan toleransi dalam (peneropongan riil) dengan 2 derajat lebih perhitungan.

Tentu menjadi pertimbangan pihak-pihak yang berkompeten. Selamat berlebaran.