Minggu ini, peta diplomatik Timur Tengah bergeser ketika beberapa negara, termasuk negara-negara besar Barat, secara resmi mengakui Negara Palestina. Apa yang dulunya dianggap sebagai gestur yang jauh atau simbolis, tiba-tiba menjadi langkah yang menentukan dan bersejarah dalam diplomasi internasional. Pengumuman tersebut tidak datang secara terpisah, tetapi diumumkan di jantung kota New York, tepatnya di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa, di mana perdebatan tentang pengakuan kenegaraan Palestina kembali memanas dengan penekanan kesepahaman yang baru.
Simbolisme momen tersebut begitu kuat. Setelah puluhan tahun negosiasi, pidato, dan resolusi yang mandek, pengakuan Palestina tidak lagi terbatas pada negara-negara di belahan bumi selatan atau dunia Arab. Kini pengakuan tersebut mencakup negara-negara Eropa yang telah lama dianggap sebagai sekutu setia Israel, serta negara-negara seperti Kanada dan Australia, yang kebijakan luar negerinya sebelumnya selalu sejalan dengan Washington. Setiap pengakuan dibingkai sebagai kebutuhan moral dan alat politik untuk menyelamatkan solusi dua negara.
Di forum PBB, dua mitra yang tak terduga, yaitu Prancis dan Arab Saudi, menjadi sorotan sebagai penyelenggara pertemuan puncak yang akan mendefinisikan ulang suara aspirasi global. Prancis, dengan pengaruh historisnya di Eropa dan Mediterania, dan Arab Saudi, dengan otoritas keagamaan dan pengaruh regionalnya, membentuk dewan bersama untuk memandu musyawarah. Kerja sama mereka bersifat simbolis sekaligus strategis, menjembatani diplomasi Barat dengan kepemimpinan Arab dengan cara yang jarang terlihat sebelumnya.
Keputusan Prancis untuk secara resmi mengakui Palestina memberikan kejutan ke seluruh Eropa. Bagi Paris, langkah tersebut bukan hanya respons terhadap krisis kemanusiaan di Gaza, tetapi juga pernyataan bahwa penundaan kedaulatan Palestina yang tak berkesudahan telah mengikis kredibilitas hukum internasional. Prancis membingkai pengakuan sebagai kebutuhan diplomatik, alternatif bagi konflik yang berkepanjangan, dan tantangan terhadap gagasan bahwa hanya kekerasan yang dapat membentuk masa depan kawasan. Selain itu, terdapat tekanan publik dan demonstrasi di seluruh negeri terkait krisis Palestina.
Sementara itu, perwakilan Arab Saudi menekankan bahwa pendudukan, pengungsian, dan agresi yang sedang berlangsung tidak dapat dinormalisasi. Menteri Luar Negeri Pangeran Faisal bin Farhan Al Saud menyerukan kepada masyarakat internasional untuk menegaskan kembali komitmennya terhadap hukum internasional, melindungi warga sipil, dan menuntut agar pemerintahan Palestina di masa depan bebas dari militerisasi dan ekstremisme. Dengan mendukung pengakuan dalam kerangka PBB, Arab Saudi berupaya mengembalikan isu Palestina ke jalur diplomasi negosiasi, sekaligus mengisyaratkan bahwa pendekatan militeristik yang terjadi tidak boleh menjadi alasan penentuan nasib seluruh rakyat Palestina.
Diplomasi Eropa, khususnya, telah memainkan peran penting dalam mendorong pengakuan ini. Negara-negara seperti Portugal, Belgia, Andorra, Malta, dan Luksemburg, bersama Prancis, mengakui Palestina, masing-masing mengaitkan keputusan mereka dengan tuntutan reformasi pemerintahan di Palestina, pengucilan kelompok bersenjata non-sipil dari kekuasaan resmi, dan jaminan akuntabilitas demokratis. Gelombang pengakuan ini secara eksplisit terkait dengan gagasan bahwa hanya lembaga politik yang sah yang dapat melucuti Hamas dan melemahkan cengkeramannya terhadap politik Palestina. Walaupun begitu kita akan melihat bagaimana rakyat Palestina berikut faksi politiknya bekerjasama untuk membangun situasi yang konstruktif.
Spanyol juga tidak berbasa-basi. Perdana Menteri Pedro Sanchez berbicara dalam pertemuan tersebut, mengatakan bahwa solusi dua negara mustahil “ketika penduduk salah satu dari kedua negara tersebut menjadi korban genosida.” Sanchez menekankan martabat manusia, hukum internasional, dan akal sehat sebagai landasan urgensi pengakuan negara. Sementara itu, Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni mengkondisikan pengakuan pada langkah-langkah konkret: pembebasan penuh sandera Israel dan pengucilan Hamas dari pemerintahan. Pidatonya menimbulkan kontroversi ketika beberapa pihak berpendapat pidatonya terlalu menekankan satu sisi, tetapi yang lain mengakui hal itu mencerminkan realisme diplomatik yang dianut oleh lebih banyak negara.
Perdana Menteri Australia Anthony Albanese menyampaikan pidato yang melampaui argumen moral hingga duka pribadi dan urgensi kemanusiaan. Ia mengutip kematian seorang pekerja bantuan Australia, Zomi Frankcom, dan menguraikan penderitaan yang meluas di Gaza, membingkai pengakuan tidak hanya sebagai dukungan simbolis tetapi juga sebagai sarana untuk melindungi warga sipil dan mendorong gencatan senjata dan pemerintahan yang tepat. Dorongan Albania adalah bahwa pengakuan harus berjalan beriringan dengan tindakan: demiliterisasi pemerintahan, pemilihan umum, dan diakhirinya permusuhan.
Turki merupakan salah satu negara paling vokal, baik dari Asia maupun dunia berpenduduk mayoritas Muslim, dalam mendukung pengakuan negara Palestina. Presiden Erdogan menyatakan pengakuan baru-baru ini, terutama oleh anggota Dewan Keamanan PBB, sebagai “bersejarah”, dan menekankan bahwa mereka harus mempercepat implementasi solusi dua negara. Ia mendesak agar semua negara mengadopsi perbatasan tahun 1967 dan mengakui Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina. Erdogan juga mengutuk krisis kemanusiaan yang sedang berlangsung di Gaza, menyebut tindakan Israel sebagai pembantaian, dan menegaskan bahwa gencatan senjata, akses kemanusiaan, dan penarikan pasukan merupakan syarat penting bagi perdamaian.
Dari Afrika Selatan, Presiden Cyril Ramaphosa memanfaatkan forum PBB untuk memperbarui komitmen negaranya terhadap solusi dua negara, menuntut agar negara Palestina yang bersebelahan didirikan berdasarkan perbatasan tahun 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya. Ia menuduh Israel melakukan “hukuman yang tidak proporsional” terhadap warga Palestina dan meminta semua negara yang mengakui Palestina untuk dipuji atas keberanian moral mereka.
Indonesia turut menyuarakan perdebatan ini, dengan Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pernyataan yang berani namun berimbang di PBB. Meskipun tegas mendukung kenegaraan Palestina, Prabowo menggarisbawahi bahwa perdamaian tidak dapat dicapai tanpa mengakui keamanan kedua negara, baik Palestina maupun Israel. Pernyataannya memicu kontroversi di beberapa kalangan, karena para kritikus menganggapnya terlalu lunak terhadap Israel, tetapi banyak diplomat memuji pidatonya karena berhasil menembus retorika yang mengakar. Nada yang seimbang ini diapresiasi secara luas di forum dunia sebagai tanda bahwa rekonsiliasi dimungkinkan jika martabat dan keamanan kedua belah pihak terjamin.
Keterlibatan Eropa, Afrika, dan Asia ini membingkai ulang pengakuan bukan sebagai imbalan, melainkan sebagai jalan menuju tanggung jawab. Dengan mendorong pembentukan pemerintahan Palestina yang diakui dan bebas dari faksi militer, sekaligus mengakui hak Israel atas keamanan, banyak pemimpin mengisyaratkan bahwa diplomasi dapat menciptakan jalan tengah yang layak. Pengakuan ini kemudian menjadi semacam wortel sekaligus tongkat: pengakuan tersebut memberikan Palestina kedudukan diplomatik, sekaligus menetapkan harapan yang jelas bahwa pemerintahan harus bersifat sipil, akuntabel, dan independen dari faksi-faksi bersenjata.
Menjelang akhir pekan, yang tersisa bukan hanya pergeseran dalam peta diplomatik global, tetapi juga harapan dunia tentang perdamaian. Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun, pengakuan Palestina dibahas sebagai kebutuhan mendesak, alih-alih cita-cita yang jauh. Perkembangan pekan ini juga menandakan bahwa diplomasi internasional memasuki fase baru, di mana negara-negara diingatkan akan tanggung jawab bersama mereka untuk saling mendukung dalam mewujudkan perdamaian, keamanan, dan keadilan di seluruh dunia. Dengan demikian, perdebatan tentang Palestina menjadi lebih dari sekadar isu regional; perdebatan ini bertransformasi menjadi ujian nyata apakah tatanan global dapat menghadapi tantangan penyelesaian konflik melalui kerja sama yang berprinsip, alih-alih perpecahan yang berkepanjangan.