☕ 𝐵𝑒𝑦 𝐴𝑏𝑑𝑢𝑙𝑙𝑎ℎ
Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu ini pun datang, perasaan dan hari dimana semua muslim bersiap-siap untuk menyambut hari iedul fitri, menyelesaikan ramadhan. Memang masih beberapa hari lagi, tetapi di sepertiga malam terakhir ini jalan-jalan mulai padat, dan persiapan pulang sudah dimulai. Deru-deru mesin sudah mulai berlomba-lomba, meraung mempercepat perjalanan mengungkapkan kerinduan untuk sampai di kampung halaman. Keadaan ini adalah sebuah fenomena yang umum di hari-hari akhir ramadhan.
Menghayati pentingnya ramadhan, sebagaimana usaha-usaha diniatkan untuk membina, berkontempelasi hingga meminta ampunan kepada Allah (swt). Tidak berharap kesenangan yang terlalu awal menggoyahkan barisan-barisan yang terisi sepanjang ramadhan, ataukah meredupkan rutinitas-rutinitas yang terbangun. Perlu rasanya bagaimana sejauh mana hasil ramadhan yang dilalui ini, apakah ada perubahan dan keuntungan dalam memanfaatkannya untuk meningkatkan kualitas ibadah dan keimanan.
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”
(QS Al-Hadid : 20)
Salah satu indikator yang menunjukkan pencapaian ramadhan adalah kezuhudan yang semakin tumbuh. Kezuhudan yang dihasilkan dari upaya menjalankan ibadah dengan harapan hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah (swt). Apapun bentuk ibadah dan dan berapapun amalan sunnah yang dilakukan, kezuhudan tidak berhitung dari kuantitas amalan tetapi dari kualitas niat dan upaya untuk menjauhkan hati dari gempita-gempita dunia. Untuk yang telah semakin berumur, sepatutnya urusan-urusan dunia tidak disandarkan kepada keuntungan-keuntungan picisan yang sifatnya keduniawian. Kezuhudan dapat dicapai dengan hati yang mengesampingkan kesenangan duniawi dan memfokuskannya pada hal yang lebih bermakna.
Intensitas ibadah yang disemarakkan disaat ramadhan perlahan-lahan melatih ketawadhuan dalam beribadah. Dengan ibadah-ibadah ini pengharapan terhadap keridhaan Allah semakin terlatih. Semakin banyak harapan bersandar kepada Allah (swt) atas kesemua hal, dan semakin cahaya-cahaya ketaqwaan mulai mengisi hati yang mudah terombang-ambing.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,”
(QS Al-Baqarah : 183)
Kemajuan dalam membaca dan mentadabburi al-Qur’an juga menunjukkan sejauh mana keberhasilan dalam memanfaatkan Ramadhan. Bacaan yang terputus-putus, menjadi bertambah lancar. Pemaknaan yang kosong, apakah telah terisi. Khatam al-Qur’an dan merenungkan sebagian maknanya menunjukkan usaha pada ramadhan ini yang memberikan hasil yang positif dan pemaknaan mendalam dari ibadah selama ini.
Empati kepedulian juga sepatutnya terlatih dari menahan lapar dan dahaga. Tidak semua hal harus dimakan dan tidak semua rencana harus diwujudkan. Rasa lapar dan terbatasnya makan menjadikan empati terlatih. Membantu bukan dengan apa yang tersisa, puasa ramadhan telah mengajarkan satu dua hari upaya menahan lapar dan membeli makanan, dapat menjadi keberkatan menyediakan makanan untuk yang dhaif. Seperti fidyah memberi makanan bagi yang dhaif dituntut bagi yang memiliki halangan dalam berpuasa.
Zakat, dan sedekah melatih empati menyisihkan sebagian harta untuk mereka yang dhaif. Tetapi Islam bukan hanya mengajarkan untuk mencukupkan dengan zakat yang hanya 2,5% ataupun zakat fitrah. Dalam ramadhan, Islam mengajarkan untuk berusaha ikhlas, menjadi mukhlisin. Islam memberikan batasan minimal supaya manusia merasa ada kewajiban, dan terlebih lagi Islam membuka peluang sebesar-besarnya dalam beramal dan bersedekah tanpa batasan bagi para hamba-hambanya yang terpilih, para mukhlasin. Mufassirin membedakan mukhlisin dan mukhlasin. Mukhlasin adalah manusia-manusia yang sedang melatih dan berusaha setiap amal kita untuk ikhlas. Sedangkan mukhlasin adalah orang yang telah tertempa dan terbiasa sekian lama, ataupun mereka yang telah berdedikasi memilih jalan hidup idealismenya terhadap nilai-nilai etika Islam yang mengharapkan keridhaan Allah (swt) semata.
Ketaatan dan kesungguhan dalam menjalankan puasa merupakan indikator dalam mengukur hasil ramadhan. Seringkali terjumpai adanya rukhsah (keringanan), dan cukup syarat untuk mengambilnya, tetapi kemudian memilih cara yang lebih berat tidak mengambil rukhsah dengan niatan supaya Allah (swt) melihat kesungguhannya. Menjalani puasa dengan kesungguhan dan penuh kesabaran menunjukkan bahwa berhasilnya menghargai keberadaan ramadhan. Adakah sombong dengan kemudahan dan ampunan yang Allah (swt) berikan pada masa ramadhan akan tersia-siakan. Adakah anggapan untuk berpuasa ini adalah satu beban bagi aktifitas sehari-hari. Nilai-nilai lebih dari keupayaan dalam kepasrahan dan tidak menyerah dengan ketidakberdayaan dan batasan-batasan yang semakin ketat selama ramadhan ini adalah satu anugrah penempaan karakter yang dilakukan oleh para anbiya, satu keberkahan yang tak ternilai dalam ukuran ramadhan.
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ مُوسَىٰ ۚ إِنَّهُ كَانَ مُخْلَصًا وَكَانَ رَسُولًا نَّبِيًّا
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka), kisah Musa di dalam Al Kitab (Al Quran) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang mukhlasan dan seorang rasul dan nabi.”
(QS Maryam : 51)
Perubahan positif dalam karakter dan perilaku juga mencerminkan hasil tempaan ramadhan yang berat ini. Jika hawa nafsu dapat dikendalikan, maka ada banyak kemajuan yang telah diraih. Nafsu adalah yang disebut hakikat kemanusiaan, sebuah perasaan panas baran yang tidak tertahan dan kecenderungan yang intensif. Maka mengelola nafsu adalah dengan menahan doroangan intensifitasnya supaya tidak berlebihan hingga kontraproduktif. Menahan nafsu bukan berarti tidak marah, walaupun lebih baik seperti itu, tetapi menahan nafsu adalah menahan marah yang pada awalnya ditujukan untuk kebaikan berubah menjadi amarah yang intensif hingga menimbulkan keburukan. Ketika dalam mengendalikan hawa nafsu, istiqamah dalam beribadah dalam terus dipertahankan meskipun menghadapi tantangan, maka yakinlah bahwa hasil ramadhan masih sesuai dengan harapan.
Kedamaian dan ketenangan hati yang dirasakan selama ibadah menjadi bukti hasil dari yang diupayakan selama ramadhan. Kesabaran yang meningkat dan tawakal yang tak bertepi dalam menghadapi kehidupan, itu menunjukkan bahwa ramadhan telah memberikan dampak positif. Kepedulian terhadap keluarga, saudara, dan masyarakat juga menjadi ukuran positif dalam ramadhan.
Perayaan Idul Fitri yang pada puncaknya menjadi momen untuk mensyukuri pencapaian ramadhan ini. Hari makan-makan, yaumil iftar, adalah hari dimana perwujudan rasa syukur dari upaya ini. Menjadi cerminan sekiranya iedul fitri ini manusia saling bermaaf-maafan demikian syahdunya, apakah disaat ramadhan ada rasa syahdu yang besar untuk meminta ampunan kepada tuan dari jiwa dan raga kita, tuhan dari sekian alam.
Mengukur pencapaian ramadhan bukanlah tentang menghitung jumlah ibadah yang telah dilakukan, melainkan tentang merenungi perubahan positif dalam internal diri manusia. Adakah ketakutan, pengharapan, dan keikhlasan telah berkembang dan menjadi tuan rumah dalam hati seorang hamba. Semoga dihujung ramadhan ini, diwaktu yang tersisa, masih ada asa dan harapan untuk menjadikan ramadhan sebagai momentum konstruktif untuk terus meningkatkan keimanan dan takwa. Ramadhan adalah bulan pembinaan, maka hasil yang diharapkan dari pembinaan ini adalah dalam keberkahan amalan setelah ramadhan. Sekiranya ini adalah ramadhan terakhir, maka semoga Allah swt berikan ketakwaan dalam melangkah kedepan. Yaa Muqallibal-quluub, thabbit qalbii `alaa diinika.