Gelombang demonstrasi yang meletus di Indonesia dalam beberapa pekan terakhir mencerminkan frustrasi publik yang mendalam terhadap ketimpangan, korupsi, dan privilese yang dinikmati oleh elit politik. Apa yang bermula sebagai gerakan damai menuntut akuntabilitas, terutama terkait tunjangan anggota parlemen dan terkikisnya kepercayaan publik, juga dimaksudkan untuk menyoroti ketidakadilan yang terjadi secara sistemik. Namun, di tengah protes demonstrasi sipil yang sah ini, beberapa elit dan aktor lokal sepertinya mencoba membajak protes, menjadikannya alat politik untuk keuntungan mereka sendiri. Manuver ini, bagaimanapun, menjadi bumerang, menciptakan apa yang dapat kita lihat sebagai eskalasi politik yang gagal dan pada akhirnya melemahkan kredibilitas mereka yang terlibat dalam pemerintahan baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif.
Inti dari eskalasi ini terletak pada oportunisme berbahaya dari para broker politik lokal, yang sering melihat kerusuhan sebagai peluang untuk mendelegitimasi lawan atau memperkuat posisi tawar dalam pemerintahan. Alih-alih menyalurkan protes ke dalam reformasi konstruktif, mereka justru memperparah ketegangan, berharap mendapatkan visibilitas atau mendapatkan konsesi. Tindakan-tindakan tersebut mencerminkan pola umum dalam politik Indonesia, di mana mobilisasi massa bukan hanya ungkapan keluhan, tetapi juga panggung bagi persaingan dan manuver elit. Dalam hal ini, upaya mempolitisasi gerakan tersebut justru menggerogoti suara otentik mahasiswa, buruh, dan kelompok masyarakat sipil yang ingin menyuarakan aspirasinya.
Eskalasi ini juga memperlihatkan betapa rapuhnya batas antara perbedaan pendapat yang sah dan kekacauan yang nampak dimanipulasi. Aktor-aktor lokal, yang beberapa di antaranya dikaitkan dengan faksi-faksi yang berseteru di parlemen atau struktur kekuasaan daerah, mendorong taktik konfrontatif dan menyebarkan narasi yang provokatif. Tujuan mereka bukanlah keadilan atau reformasi, melainkan untuk menggoyahkan pemerintahan dan membuka peluang negosiasi atau pengaruh. Dengan demikian, mereka membahayakan stabilitas bangsa, memperlakukan demonstrasi bukan sebagai hak demokrasi, melainkan sebagai alat tawar-menawar dalam permainan kekuasaan.
Namun, masyarakat di lapangan terbukti lebih cerdas daripada yang diantisipasi oleh para elit. Kelompok mahasiswa, pekerja pengiriman barang, dan aliansi perempuan menolak membiarkan agenda mereka dilarutkan oleh motif politik tersembunyi. Mereka terus-menerus menekankan bahwa tuntutan mereka adalah reformasi struktural, yakni mengakhiri privilese yang tidak adil, memberantas korupsi, dan meningkatkan kesejahteraan. Dengan menjaga fokus tetap jernih, kelompok-kelompok ini mengungkap oportunisme elit politik, sehingga mencegah eskalasi berkembang menjadi krisis politik nasional. Ketahanan dan kemampuan melihat keadaan ini menunjukkan kedewasaan masyarakat sipil Indonesia dalam menjaga gerakannya agar tidak dikooptasi oleh pihak manapun.
Eskalasi yang gagal juga menggarisbawahi pelajaran yang lebih luas tentang kebangsaan. Demokrasi Indonesia masih sangat rapuh, dengan kelemahan kelembagaan dan penguasaan negara yang terus berlanjut oleh elit (otoritarian). Namun, ketika elit bertindak berlebihan, seringkali menggunakan demonstrasi damai sebagai pion dalam permainan politik mereka, mereka menunjukkan keterpisahan mereka dari aspirasi rakyat yang sesungguhnya. Kesalahan perhitungan semacam itu tidak hanya mengikis legitimasi mereka tetapi juga memperkuat sinisme publik terhadap lembaga-lembaga politik. Bahaya yang terjadi kemudian adalah pada bagaimana upaya berulang seperti ini terus menguras energi gerakan sipil, membuat masyarakat rentan terhadap impuls otoriter.
Kebangsaan, pada hakikatnya yang sejati, membutuhkan tanggung jawab bersama untuk menjaga perdamaian dan memajukan keadilan. Ketika aktor lokal memainkan permainan berbahaya, mereka tidak hanya membahayakan stabilitas politik tetapi juga tatanan moral republik yang dibangun. Memanfaatkan demonstrasi untuk keuntungan jangka pendek mengkhianati pengorbanan warga negara yang mempertaruhkan keselamatan mereka demi menyuarakan aspirasi yang sah. Penyalahgunaan energi rakyat untuk pertempuran elit memperdalam ketidakpercayaan dan memecah belah rasa memiliki kolektif yang mendasari identitas Indonesia yang berbhineka.
Upaya untuk meningkatkan demonstrasi damai menjadi gejolak politik adalah merupakan peringatan dan pelajaran moral bagi semua. Upaya ini mengungkap naluri predatoris elit tertentu dan ketahanan aktor akar rumput yang menolak menyerahkan perjuangan mereka pada manipulasi. Agar Indonesia dapat memperkuat demokrasi dan kebangsaannya, Indonesia harus memastikan bahwa gerakan sipil tetap berakar pada kepentingan publik, bebas dari cengkeraman elit. Hanya dengan demikian, demonstrasi dapat berfungsi sebagai instrumen reformasi, alih-alih panggung untuk permainan politik.