Armada Sumud Flotilla telah muncul sebagai salah satu simbol gelombang baru dari “diplomasi masyarakat” di dunia internasional yang buntu saat ini akibat genosida Palestina. Ketika pemerintahan global masih terjebak dalam perebutan kekuasaan yang kaku, masyarakat sipil di seluruh benua telah memilih untuk bertindak langsung. Para aktivis, pekerja kemanusiaan, dan masyarakat melakukan pelayaran menuju Gaza. Mereka tidak hanya untuk mengirimkan bantuan tetapi juga untuk menunjukkan bahwa hati nurani dan kemanusian tidak boleh diam. Perjalanan ini bukan hanya tentang pasokan bantuan, ini adalah pelayaran perdamaian yang dimaksudkan untuk menyadarkan dan mengambil perhatian dunia akan urgensi krisis kemanusiaan.
Inti dari inisiatif ini terletak pada kelumpuhan diplomatik dunia, yang entah bagaimana terlihat rumit untuk melihat apa yang terjadi di Gaza sebagai krisis kemanusiaan. Di satu sisi, negara-negara Arab dan Muslim terus menyerukan gencatan senjata dan mengakhiri pendudukan oleh Israel, namun suara mereka seringkali terfragmentasi oleh agenda regional dan nasional, yang lebih berfokus pada kalkulasi keamanan. Di sisi lain, Israel dan Amerika Serikat bersikeras dalam negosiasi yang dibentuk oleh kepentingan pribadi strategis, aliansi kendali, dan dominasi mereka, alih-alih pada keprihatinan kemanusiaan yang tulus. Ketidakseimbangan ini telah mengubah diplomasi internasional menjadi ajang kekuasaan, di mana krisis kemanusiaan kembali dikesampingkan oleh krisis etika yang sama di antara para pemimpin dan negara adidaya.
Dalam situasi seperti itu, kemanusiaan adalah korban yang terbesar. Bagi rakyat Gaza, kehidupan sehari-hari di bawah blokade dan pemboman merupakan bentuk hukuman kolektif yang paling kejam. Narasi mempertahankan Israel tidak dapat membenarkan apa yang terjadi melalui hukuman kolektik seperti perampasan makanan, obat-obatan, air, dan listrik bagi jutaan warga sipil. Hukum internasional jelas: hukuman kolektif dilarang. Yang terjadi saat ini bukanlah pertahanan, melainkan genosida sistematis martabat manusia, yang dilakukan di hadapan komunitas global yang ragu-ragu, sesuatu keganasan yang telah lama lenyap dan kini bangkit kembali dalam peradaban berteknologi tinggi.
Inilah mengapa diplomasi sosial menjadi sangat krusial. Armada Flotilla tidak diorganisir oleh pemerintah atau negara, melainkan oleh jaringan LSM, koalisi kemanusiaan, aktor sosial, dan relawan yang berkomitmen. Masyarakatlah, bukan negara, yang telah mengangkat tangan untuk mengatakan “cukup.” Melalui inisiatif ini, masyarakat umum membuktikan bahwa tanggung jawab moral untuk perdamaian tidak semata-mata berada di tangan elit politik. Tanggung jawab ini juga merupakan tanggung jawab komunitas nurani yang tidak dapat menyaksikan ketidakadilan terjadi tanpa tindakan nyata.
Namun, alih-alih menyambut upaya ini, Israel justru menghadang kapal-kapal tersebut, menangkap para aktivis, dan mengkriminalisasi misi mereka. Para peserta dicap sebagai ancaman keamanan atau bahkan terkait dengan terorisme. Reaksi semacam itu menyingkapkan ketidakamanan yang mendalam dari kekuatan Israel yang takut akan solidaritas sekaligus perlawanan global. Jika membawa makanan, obat-obatan, dan kasih sayang disebut terorisme, maka kompas moral peradaban tersebut telah benar-benar kehilangan arah.
Tanggapan Amerika Serikat juga mengungkap kontradiksi diplomasi modern. Meskipun AS berbicara tentang koridor kemanusiaan dan negosiasi perdamaian, pada saat yang sama AS melindungi Israel dari akuntabilitas atas tindakan militerisasi dan merubah kawanan penduduk menjadi area peperangan. Dengan membingkai armada tersebut sebagai “provokasi” alih-alih seruan kemanusiaan, Israel sekali lagi menolak prinsip-prinsip universal kebaikan dan hak asasi manusia. Diplomasi selektif ini menyoroti kebangkrutan sistem yang masih menggunakan logika dominasi kolonial, sesuatu yang dahulu pernah dilakukan oleh bangsa Eropa.
Meskipun bantuan kemanusiaan yang dibawa armada tersebut belum mencapai para pengungsi Gaza, niat moral dan pesannya telah bergema ke seluruh dunia. Tekad ratusan aktivis dari puluhan negara telah memicu percakapan global, menarik perhatian pada blokade dan pendudukan. Perjalanan mereka telah berubah menjadi kisah keberanian, solidaritas, dan tuntutan moral. Ini menunjukkan bahwa ketika pemerintah tetap diam dan mencoba melakukan diplomasi yang baik, masyarakat sipil dapat menjadi suara yang paling lantang untuk keadilan.
Sumud Flotilla telah mencapai tujuannya. Ia telah membangkitkan hati nurani jutaan orang, mendefinisikan ulang arti diplomasi, dan memperkuat seruan global untuk kebebasan dan keadilan. Telah terbukti bahwa diplomasi bukanlah monopoli negara; diplomasi juga merupakan praktik orang-orang yang bertindak dalam solidaritas kemanusiaan satu sama lain. Inilah kekuatan sejati diplomasi masyarakat, sebuah tindakan hati nurani yang menolak untuk dibungkam. Gelombang baru yang muncul di akhir zaman.
Oleh karena itu, diplomasi masyarakat menawarkan jalan baru ketika diplomasi formal tidak memiliki taring. Ini menunjukkan bahwa di saat-saat kebuntuan politik, orang-orang biasa dapat turun tangan untuk memimpin agenda moral dan kemanusiaan. Sumud Flotilla bukan sekadar simbolis; ia merupakan contoh nyata bagaimana komunitas global dapat mengorganisir aksi transnasional untuk menekan struktur kekuasaan, membentuk kembali opini publik, dan mengembalikan martabat ke dalam wacana hubungan internasional.
Pelajaran yang lebih luas adalah bahwa kolonialisme, dalam segala bentuknya, harus dihapuskan dari dunia modern, sebagaimana dinyatakan dalam banyak deklarasi dan undang-undang nasional banyak negara. Perjuangan Palestina bukanlah kasus yang terisolasi; melainkan cermin yang mencerminkan perjuangan dekolonisasi dan hak asasi manusia yang belum selesai. Selama pendudukan berlanjut, kredibilitas tata kelola global tetap dipertanyakan. Armada ini mengingatkan kita bahwa struktur kolonial bukanlah peninggalan masa lalu, melainkan realitas masa kini yang menuntut perlawanan kolektif dari komunitas masyarakat seluruh dunia.