Tipologi Informasi Covid-19

Avatar photo

Irwandi Nashir

Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Bukittinggi, Motivator dan Pendakwah

Krisis kesehatan selalu saja diiringi dengan persoalan penyebaran informasi.  Laporan resmi Kementerian Komunikasi dan Informasi RI menyebutkan bahwa penyebaran  informasi bohong atau hoaks  pada platform digital di Indonesia terkait pandemi (penyebaran penyakit) virus korona atau Covid-19 (Corona Virus Diseases) sejak 23 Januari hingga 6 April 2020, mencapai 1.096 informasi. Selain itu, tak sedikit informasi yang membingungkan dan saling kontradiktif  terkait Covid-19 bersileweran tertutama di media sosial.   

Pada 1980-an hingga 2000-an, kita menyaksikan penyebaran informasi yang tidak benar   mengenai virus HIV/AIDS. Informasi yang disebarkan bahwa virus HIV/AIDS diciptakan di sebuah laboratorium, atau informasi bahwa HIV/AIDS bisa disembuhkan dengan susu kambing. Klaim-klaim ini ternyata meningkatkan perilaku berisiko dan memperburuk krisis. Saat ini kita menyaksikan membanjirnya informasi seputar pandemi virus korona atau dikenal dengan Covid-19. Di berbagai platform dari Facebook sampai pesan WhatsApp, sering ditemukan  informasi tentang pandemi wabah mencakup soal penyebab wabah hingga cara pencegahan dari penyakit tersebut. Tidak sedikit dari informasi itu yang membawa kerugian karena kontennya yang tidak benar. Di sebuah provinsi di Iran, misalnya, banyak yang meninggal setelah meneguk alkohol karena diklaim dapat mengobati Covid-19. Informasi sesat semacam ini hanya memberikan kenyaman palsu sehingga orang begitu mudah mengabaikan panduan dari pemerintah, bahkan  mengikis kepercayaan terhadap petugas kesehatan.

Penolakan warga terhadap jenazah positif Covid-19 di sejumlah tempat di tanah air juga tidak terlepas karena asupan informasi yang salah itu.  Mereka menyangka akan dapat tertular virus ini jika jenazah dimakamkan di kampung mereka.    Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga sibuk menyangkal beberapa informasi bohong seputar virus corona. Misalnya, informasi yang menyebutkan jika menyemprotkan   alkohol di seluruh tubuh bisa membunuh virus korona. Fakta yang ditelusuri WHO justru menunjukkan bahwa alkohol dan klorin dapat berfungsi untuk mendisinfeksi bagian permukaan, tetapi perlu digunakan di bawah rekomendasi yang tepat. Sebaliknya, menyemprotkan alkohol atau klorin ke seluruh tubuh tidak akan membunuh virus yang telah memasuki tubuh. Malahan menyemprotkan zat-zat semacam itu disebutkan bisa berbahaya bagi pakaian atau selaput lendir, misalnya mata dan mulut.

“Kikir Kognitif”

Kenapa informasi palsu begitu mudah menyelinap dan menetap di dalam pikiran seseorang? Jawabannya adalah karena penerima informasi tidak berpikir kritis. Mereka justru menggunakan intuisi  untuk menentukan apakah suatu informasi yang diterima benar atau tidak.  Orang yang menerima informasi tanpa menalarnya secara logis sering disebut oleh psikolog sebagai orang yang “kikir kognitif” karena mereka memiliki akal tetapi tidak banyak menggunakannya.   Dalam soal pernyataan seputar virus korona, orang seperti ini biasanya lebih mudah termakan berita palsu. Mereka tidak terlalu mempertimbangkan akurasi sebuah pernyataan, dan bahkan turut menyebarkannya dengan sukarela.

Kehadiran orang-orang yang “kikir kognitif” ini telah lama dipahami oleh ahli propaganda dan penyebar informasi palsu.  Tragisnya, media sosial terlibat dalam pusaran penyebaran informasi bodong ini. Bukti terbaru memperlihatkan banyak orang menyebar sebuah informasi tanpa memikirkan akurasinya. Riset yang dilakukan Gordon Pennycook, seorang peneliti psikologi misinformasi dari University of Regina, Kanada,  menemukan bahwa sebanyak 25% responden yang ditelitinya dapat mengenali  berita palsu. Ketika ditanya apakah mereka akan menyebarkan informasi tersebut, 35% responden menjawab akan menyebarkannya. Temuan ini  memperlihatkan bahwa  orang yang menyebarkan informasi bohong itu sebenarnya dapat mengetahui bahwa informasi itu tidak benar seandainya  mereka berpikir dengan jernih sebelum menyebarkannya. Sepertinya orang lebih mementingkan berapa banyak yang suka atas unggahannya dibanding memikirkan akurasi unggahan itu.

Disisi lain ada juga orang yang   mengalihkan tanggung jawab penilaian pada orang lain. Banyak informasi palsu dibagikan yang diawali dengan kalimat “saya tak tahu ini benar atau tidak”.  Mengulang-ulang suatu pernyataan baik dengan teks yang sama maupun diubah juga berpeluang untuk membuatnya seakan benar, apalagi semakin tingginya intensitas keakraban penerima informasi dengan informasi tersebut.

Literasi Informasi

Upaya memutus rantai penyebaran Covid-19 turut ditentukan oleh literasi alias meleknya  masyarakat dengan informasi yang akurat seputar virus yang mematikan itu. Karenanya, dibutuhkan strategi khusus menyampaikan informasi kepada masyarakat yang orang-orang yang tak ingin merenung dan berpikir panjang.  Mengingat kebenaran akan mudah dikenali ketika pikiran bekerja dengan lancar dan tidak berbelit-belit, maka penyajian informasi yang membuat pikiran bekerja keras mesti dihindari. Penggunaan istilah yang rumit mesti diganti dengan istilah yang mudah dipahami, bahkan jika dibutuhkan dapat digunakan bahasa daerah fakta harus disajikan sesederhana mungkin dengan bantuan gambar dan grafis yang membuat ide lebih mudah divisualisasi. Berbagai wadah dan media yang efektif untuk penyaluran informasi mesti digunakan.

Masyarakat juga perlu diedukasi terkait dengan berbagai tipologi informasi saat krisis Covid-19 ini. Beberapa tipologi informasi dimaksud adalah: Pertama,  Informasi Valid (Valid Information). Informasi tipe ini  adalah informasi yang didasarkan pada bukti ilmiah terbaru dan dapat diterima serta berlaku untuk orang lain. Misalnya, mencuci tangan dengan protokol tertentu dapat mencegah penularan virus korona.  Karenanya, informasi valid ini harus terus menerus diinformasikan kepada masyarakat hingga ke akar rumput.  Kedua,   Informasi yang membingungkan  (Perplexing information). Jenis informasi ini adalah informasi ilmiah yang dibuat untuk meningkatkan pengetahuan orang lain, tetapi dikirim ke audien yang tidak tepat.  Misalnya, beberapa informasi ilmiah tingkat tinggi tentang Covid-19 dikirimkan kepada masyarakat umum atau remaja, yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup dan tidak dapat memahaminya sehingga  dapat memperburuk kekhawatiran mereka.

Ketiga, Informasi yang salah (Misinformation). Jenis informasi ini tidak akurat dan tidak dapat diandalkan, tetapi orang yang menyebarkannya mempercayai bahwa informasi itu benar.   WHO meminta semua pihak tidak mempercayai bahwa cuaca dingin dapat membunuh virus korona atau penyakit lainnya. Selain tidak ada dasar, WHO menyatakan bahwa suhu tubuh manusia normal adalah tetap 36,5 hingga 37 derajat celcius, terlepas dari suhu eksternal atau cuaca.  WHO menyampaikan cara paling efektif untuk melindungi diri dari Covid-19 adalah sering membersihkan tangan dengan alkohol atau mencuci tangan dengan sabun dan air.

Keempat, disinformasi (Disinformation). Ini adalah jenis informasi yang tidak akurat yang produsen dan distributornya hanya mengejar tujuan politik, ekonomi, budaya, atau lainnya. Jenis informasi ini disengaja, penempaan, dan manipulatif, serta mengubah realitas. Informasi seperti ini biasanya diproduksi dan disebarluaskan oleh orang-orang yang dendam.  Selain itu, juga ada informasi yang mengejutkan (Shocking Information). Membaca atau mendengar informasi seperti ini membuat penerima resah, kaget, dan cemas.  Tipe informasi lainnya adalah informasi kontradiktif (Contradictory Information). Jenis informasi ini diproduksi dan disebarluaskan karena perbedaan pendapat antara para ahli tentang suatu topik. Misalnya, WHO menyatakan Covid-19 tidak menular lewat udara, namun menular lewat tetesan (droplet) yang dihasilkan ketika orang yang terinfeksi batuk, bersin, atau berbicara. WHO mengatakan seseorang dapat terinfeksi Covid-19 dengan menghirup virus jika berada dalam jarak 1 meter dari seseorang yang menderita Covid-19 atau dengan menyentuh permukaan yang terkontaminasi dan kemudian menyentuh mata, hidung atau mulut sebelum mencuci tangan.   Bersihkan tangan secara teratur dan hindari menyentuh mata, mulut, dan hidung juga menjadi opsi pencegahan. Pernyataan ini dilontarkan untuk mengklarifikasi pemberitaan sebelumnya kalau Covid-19 bisa bertahan di udara.

Ketujuh, informasi diragukan (Doubtful Information). Jenis informasi ini tidak dapat divalidasi atau didiskreditkan karena bukti ilmiah yang tidak memadai. Misalnya,   beberapa orang mengklaim bahwa minum susu kuda liar,  dan konsumsi bawang putih atau makanan lain sangat membantu dalam pencegahan Covid-19. Untuk membuktikan khasiat minuman dan makanan tertentu untuk pencegahan Covid-19 mesti melewati uji laboratorium. Terakhir, informasi yang ditunda (Postponed Information). Informasi ini disajikan kepada orang lain dengan penundaan.  Sebagai contoh, beberapa negara pada awalnya tidak mengungkapkan jumlah kasus yang terinfeksi virus corona, tetapi dengan meningkatnya jumlah pasien, mereka dipaksa untuk memberikan informasi.

Seperti halnya upaya kita untuk menahan laju virus korona ini, kita juga membutuhkan adanya pendekatan beragam untuk menahan laju penyebaran  informasi yang merugikan dan berbahaya saat pandemi Covid-19 ini. Semoga!

Image credit: https://unsplash.com/photos/UuON4DYxlbw