Idul Fitri Tanpa Lebaran

Sebagai bagian dari agama, Idul Fitri bersifat primer. Sementara lebaran bersifat sekunder atau pelengkap saja. Karena bersifat primer, Idul Fitri harus tetap dilaksanakan walaupun terdapat kesulitan-kesulitan juga untuk melaksanakannya.

Penyebaran Covid-19 membuat tatanan kehidupan keagamaan dan sosial penduduk bumi tak bisa berjalan sebagaimana layaknya. Bagi umat Islam yang sebentar lagi akan melaksanakan Idul Fitri, berkemungkinan besar tak dapat melaksanakannya sesuai dengan yang semestinya. Di Indonesia, misalnya, mungkin umat Islam hanya akan melaksanakan Idul Fitri saja, tanpa lebaran.

Idul Fitri selayaknya tetap dilaksanakan bagaimana pun kondisinya, karena sejatinya Idul Fitri itu sangat berbeda dengan lebaran. Idul Fitri adalah bagian dari agama, sedangkan lebaran hanyalah produk dari kebudayaan.

Menurut cendekiawan muslim M. Natsir bahwa agama itu adalah problem of ultimate concern, yakni suatu keadaan yang tak dapat ditawar-tawar lagi dan merupakan keharusan. Sedangkan lebaran adalah kebudayaan atau tradisi yang lahir dari syariat Idul Fitri.

Kebudayaan itu sendiri menurut Koentjaraningrat adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar

Idul Fitri yang merupakan bagian dari ajaran atau doktrin agama itu memuat ajaran tentang ritual atau ibadah. Ibadah tersebut terdiri dari membayar zakat fitrah, takbir, tahmid, dan tahlil, shalat ied dan mendengarkan khutbah. Adapun sumbernya adalah sumber ajaran agama itu sendiri yakni Al-Quran dan al-Sunnah.

Qur’an dan Sunnah

Ada banyak dalil dalam al-Quran dan al-Sunnah yang menjelaskan tentang idul fitri ini, antara lain, al-Quran pada penghujung ayat 187 surat al-Baqarah, Allah berfirman “…maka hendaklah kamu sempurnakan bilangan puasa itu dan hendaklah kamu bertakbir kepada Allah atas petunjuk yang diberikanNya kepadamu. Mudah-mudahan kamu bersyukur”. Kemudian, berdasarkan hadits dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu’anhuma, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW dahulu keluar dari rumahnya pada dua hari raya. Beliau mengangkat suaranya dengan tahlil dan takbir”.

Juga hadits dari Nafi, “Dari Nafi’, ia berkata “Sesungguhnya Ibnu ‘Umar ketika keluar pada pagi hari Iedul Fithri dan hari Iedul Adha, beliau mengeraskan takbir hingga sampai di tempat shalat, kemudian bertakbir sampai imam datang, lalu bertakbir dengan takbirnya imam tersebut (mengikuti takbir imam)”. (HR. Ad-Daruquthni).

Karena Idul Fitri adalah bagian dari doktrin Islam, maka ia bersifat universal, dan berlaku sepanjang zaman tanpa mengalami perubahan dan perkembangan. Karena itu, dari dulu sampai sekarang kalimah takbir, bacaan dan jumlah rakaat shalat id tidak mengalami perubahan. Bahkan, mengubahnya adalah perbuatan bid’ah.

Selain itu, Idul Fitri tidak berbeda-beda antara daerah muslim yang satu dengan muslim yang lain. Ke mana pun seorang muslim pergi melaksanakannya, seperti itulah yang didapati dan dilakukannya.

Lebaran

Berbeda dengan Idul Fitri, lebaran merupakan produk dari kebudayaan. Lebaran muncul dari ekspresi masyarakat Islam dalam merayakan Idul Fitri. Sumber dari kebudayaan bukan wahyu melainkan manusia itu sendiri. Kalaupun ada dalilnya, hanyalah dalil yang bersifat umum yang memberikan kesempatan kepada orang muslim untuk bergembira pada saat Idul Fitri sebagaimana hadits dari Anas Radhiyallaahu ‘anhu bahwa ia berkata: “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang dan bermain-main di masa jahiliyah. ”Maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam berkata: “Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya di masa jahiliyah yang kalian isi dengan bermain-main. Maka Allah Azza wa Jalla telah memberikan ganti kepada kalian dengan dua hari yang lebih baik dari keduanya yaitu hari Iedul Fitri dan Iedul Adha”. (HR. An-Nasai).

Karena lebaran adalah produk dari kebudayaan, maka ia tidak bersifat universal melainkan temporal, berbeda antara masa yang satu dengan masa yang lain, dan berbeda antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain.

Tradisi

Di Indonesia, misalnya, orang berlebaran dengan menyediakan ketupat, tunjangan hari raya alias THR, baju baru, mudik atau pulang kampung, dan ziarah kubur. Di Malaysia yang merupakan negara tetangga terdekat dengan Indonesia, masyarakatnya memiliki tradisi merayakan lebaran yang mirip dengan Indonesia seperti membuat ketupat dan rendang. Di Malaysia juga dikenal konsep mudik ke kampung halaman atau lebih dikenal dengan istilah “balik kampung” oleh masyarakat setempat.

Ada pula tradisi orang sudah bekerja atau sudah berpenghasilan memberikan hadiah berbentuk uang kepada anak-anak. Setelah itu, barulah mereka pergi berziarah ke makam sanak keluarganya.

Di Arab Saudi lain lagi, mereka biasanya berlebaran dengan mengadakan pertunjukan seni seperti pagelaran teater, pembacaan puisi, parade musik, tari, dan berbagai macam pertunjukan seni lainnya. Hal ini bertujuan untuk memeriahkan hari yang sudah ditunggu-tunggu masyarakat selama setahun. Lain pula halnya di Turki. Orang melakukan berlebaran di Turki dengan festival gula atau seker bayram.

Selain secara substansial, sebagaimana yang dikemukakan di atas, secara praktikal juga terdapat perbedaan yang nyata antara keduanya. Dalam sebutan misalnya, untuk Idul Fitri seperti shalat dan khutbah orang menyebutnya shalat id dan khutbah id, dan tidak lazim orang menyebutnya dengan shalat lebaran atau khutbah lebaran.

Sementara untuk lebaran seperti kue, ketupat, mudik, orang menyebutnya dengan kue lebaran, ketupat lebaran, mudik lebaran. Tidak lazim orang menyebutnya kue Idul Fitri, ketupat Idul Fitri, atau mudik Idul Fitri.

Sebagai bagian dari agama, Idul Fitri bersifat primer. Sementara lebaran bersifat sekunder atau pelengkap saja. Karena bersifat primer, maka harus tetap dilaksanakan walaupun terdapat kesulitan-kesulitan juga untuk melaksanakannya.

Sedangkan lebaran yang sekunder, boleh saja dikerjakan atau ditinggalkan. Apalagi bila dilihat dari aspek hukumnya. Idul Fitri (baca shalat idul fitri) hukumnya menurut jumhur adalah sunnah muakkadah. Sementara, berlebaran itu hukumnya hanya mubah yakni boleh dikerjakan boleh juga ditinggalkan.

Karena itu, tak apa-apa jika tak membuat kue, membeli baju baru, tidak halal bi halal, dan tidak mudik atau pulang kampung. Hanya saja barangkali ketika lebaran tidak dilakukan ada sesuatu yang hilang dari kehidupan.

Dalam suasana Covid-19 amat sulit orang akan bisa berlebaran. Mau bersilaturrahmi ke rumah sanak famili, terhambat oleh himbauan untuk stay at home. Mau berhalal bi halal apalagi terhalang oleh larangan berkerumun, mau beli baju baru ke mana hendak dipakai. Dimasakpun ketupat lebaran, hanya anggota keluarga juga yang akan memakannya di rumah. Karena itu, kalau semua itu ditinggalkan, sebenarnya tidak mengapa, sebab tak ada ajaran agama yang terlanggar.

Lain halnya dengan Idul Fitri yang bila ditinggalkan akan ada ajaran agama yang dilanggar yakni perintah untuk shalat ied. Kalaupun shalat ied itu susah untuk dilaksanakan di lapangan atau di masjid, terdapat keringanan untuk mengerjakannya di rumah sendiri-sendiri atau bersama keluarga. Wallahu a’lam.