Pendahuluan
Pancasila sebagai landasan falsafah negara adalah konsensus nasional paling krusial yang dicapai dengan susah payah dalam sejarah Republik Indonesia. Kesepakatan mengenai rumusan dasar negara tercapai setelah melalui rangkaian diskusi, pertukaran pikiran dan gagasan para pendiri bangsa (founding fathers) dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Zyunbi Cosakai) atau disingkat BPUPKI dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Zyunbi Inkai) atau disingkat PPKI.
Sebagai data sejarah, BPUPKI dibentuk untuk pulau Jawa dipimpin oleh dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, sedangkan BPUPKI untuk wilayah Sumatera dipimpin oleh Mohammad Sjafei. Sementara itu untuk wilayah Kalimantan dan Indonesia Timur tidak dibentuk BPUPKI. Rapat-rapat BPUPKI di Jakarta menghasilkan Rancangan Pembukaan dan pasal-pasal batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945, Rancangan Pernyataan Indonesia Merdeka, serta rancangan tentang wilayah negara, warga negara, dan sistem pemerintahan negara.
Sesuai dengan tujuan pembentukannya, peran BPUPKI adalah untuk mengkaji dan menelaah, sedangkan PPKI yang wilayah kerjanya meliputi seluruh Indonesia adalah untuk pengambilan keputusan. Menurut catatan, dalam empat hari Sidang Pertama BPUPKI telah berbicara 32 orang anggota BPUPKI yang mengajukan saran dan pemikiran tentang dasar negara, yaitu 11 orang pada tanggal 29 Mei 1945, 10 orang pada tanggal 30 Mei 1945, 6 orang pada tanggal 31 Mei 1945, dan 5 orang pada tanggal 1 Juni 1945. Sampai saat ini, hanya catatan pidato Prof. Mr. Muhammad Yamin, Prof. Mr. Soepomo, Ki Bagus Hadikusumo, dan Ir. Soekarno yang ditemukan arsipnya. (Baca: Kata Pengantar Tim Penyunting Untuk Edisi Keempat, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia – Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Jakarta: Aliansi Kebangsaan 2014).
Sejarah dan latar belakang pembentukan negara Kesatuan Republik Indonesia dan perumusan dasar negara memberi pelajaran sangat berharga kepada generasi bangsa, yaitu bagaimana para pendiri bangsa di masa lalu menyelesaikan perbedaan bahkan pertentangan pendapat di antara mereka, meski tidak ada hal yang sempurna di dunia ini. Pancasila 1 Juni, 22 Juni dan 18 Agustus 1945 merupakan jalan tengah, titik temu dan “common platform” guna menjembatani aspirasi golongan Islam yang mengendaki Indonesia merdeka berdasarkan Islam dan aspirasi golongan kebangsaan yang menghendaki negara persatuan nasional yang memisahkan agama dari kehidupan bernegara. Dalam kenyataan, sebetulnya semangat kebangsaan juga terdapat pada kalangan yang disebut sebagai golongan Islam. Pancasila sebagai sendi kehidupan berbangsa dan berbangsa, bukan untuk menggantikan kedudukan agama bagi setiap warga negara.
Pertanyaan yang menggelitik di pikiran sebagian orang ialah, kenapa dalam Konstitusi RI yakni Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dokumen kesepakatan bernegara tidak ada ditemukan satu pun kata Pancasila?
Para pendiri bangsa tidak mengeksplisitkan kosa kata “Pancasila” di dalam Pembukaan dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945, tentu bukan tanpa alasan. Menurut analisa saya, alasan pertama karena para pendahulu kita lebih mementingkan “isi” daripada “nama”. Tetapi pilar utama dan roh dari Pancasila ditanam dalam pasal 29 ayat (1) UUD 1945 yaitu “Negara berdasar atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.” (sila pertama Pancasila). Sedangkan alasan kedua, sebagaimana pendapat Lukman Hakim Saifuddin, mantan Wakil Ketua MPR-RI dan mantan Menteri Agama, adalah karena kerendahan hati para pendiri bangsa yang dengan sengaja tidak memunculkan terma yang bisa menimbulkan pertentangan kembali mengenai dasar negara.
Pancasila merefleksikan jatidiri bangsa Indonesia yang agamais. Pancasila bukan ideologi warisan kolonial yang membawa bangsa mundur ke belakang. Pancasila adalah pemersatu untuk mewujudkan visi Indonesia sebagai negara kebangsaan modern dalam semangat persatuan dan menghormati kemajemukan. Sebagai ideologi nasional, Pancasila mengatasi semangat individualistik, dan sebagai dasar negara Pancasila berdiri di atas semua golongan dan aliran.
Menurut intelektual militer dan mantan Gubernur Lemhannas Letnan Jenderal TNI (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo dalam bukunya Pancasila, Islam dan ABRI (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), “Nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila itu merupakan hal yang relatif baru dalam perjalanan sejarah bangsa kita yang panjang. Bahwa ia mempunyai akar-akarnya dalam seluruh sejarah bangsa kita sebelumnya adalah benar. Tetapi tidaklah benar bahwa Pancasila sebagai konsep sudah ada dalam ketatanegaraan Sriwijaya atau Majapahit.”
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dimana dalam alinea keempat termaktub tujuan bernegara dan lima sila Pancasila, sejak reformasi disepakati tidak boleh diamandemen. Hal itu semakin meneguhkan kedudukan Pancasila sebagai kaidah penuntun kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu nilai-nilai Pancasila semestinya tercermin dalam setiap keputusan negara dan melandasi segala kebijakan pemerintah. Pancasila haruslah menjadi sumber kebijakan pembangunan dan alat koreksi pelaksanaan pembangunan agar tidak menyimpang dari tujuan bernegara.
Sejarah politik Indonesia di masa lalu pernah diwarnai distorsi makna Pancasila untuk kepentingan pragmatisme kekuasaan. Isu anti Pancasila dipolitisasi menjadi alat politik rezim untuk mengekang demokrasi dan mengaburkan asas kedaulatan rakyat. Pancasila hanya menjadi jargon politik dan dipahami secara keliru untuk mengakomodasi paham atau ajaran Komunisme/Leninisme-Marxisme. Maka, tidak heran pada tahun 1964 terbit buku Aidit Membela Pantjasila. Ketua Central Comite PKI itu menyatakan PKI menerima Pancasila sebagai alat pemersatu. Sebagai pimpinan partai politik, di satu sisi ucapannya membela Pancasila dan tidak akan henti-hentinya menyebarkan cita-cita persatuan nasional, tetapi di sisi lain bertindak menghabisi lawan-lawan politiknya dan ingin mengganti dasar negara Pancasila.
Sejak tahun 1966 setelah pemberontakan G.30.S/PKI dan berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966, setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dilarang. TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 masih tetap berlaku hingga sekarang dan tidak pernah dicabut. Pencabutan Ketetapan MPRS hanya dapat dilakukan dengan Ketetapan MPR. Setelah amandemen UUD 1945, MPR tidak lagi memiliki kewenangan mengeluarkan Ketetapan yang menjadi sumber hukum dalam bernegara. Selain itu, larangan mendirikan organisasi yang diketahui atau patut diduga menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, atau pun menyebarkan atau mengembangkannya, diancam dengan pidana penjara berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Yang Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara.
Pengalaman pahit dan era kegelapan masa lalu hendaknya menjadi pelajaran bagi generasi sekarang dan generasi mendatang agar tidak terulang. Presiden Pertama RI Soekarno dalam salah satu pidatonya mengingatkan, ”Jangan sekali-kali melupakan sejarah!”
Soekarno Pencetus Pancasila
Sejarah lahirnya Pancasila tidak dapat dipisahkan dari peran Soekarno sebagai pencetus Pancasila. Bagaimanapun orang berbeda pendapat dan tidak setuju dengan politik Soekarno sewaktu berkuasa, namun semua mengakui jasa Bung Karno sebagai Perintis Kemerdekaan, Proklamator dan Presiden Pertama Republik Indonesia, serta Pemimpin Besar Bangsa Indonesia, di samping Bung Hatta. Soekarno di masa revolusi kemerdekaan mempunyai peran besar dalam pembentukan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tak dapat dilupakan sampai kapan pun.
Soekarno adalah yang pertama kali mengenalkan istilah Pancasila dalam pidato 1 Juni 1945. Sejarah Pancasila berproses melalui tiga fase. Pertama, dimulai dari 1 Juni 1945. Kedua, tanggal 22 Juni 1945, dan Ketiga, mencapai bentuk final pada 18 Agustus 1945. Dalam semua rangkaian proses sejarah pembentukan dasar negara, Soekarno memiliki peran sentral sebagai Ketua Panitia Sembilan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang melahirkan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan sebagai Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dengan Mohammad Hatta sebagai wakil ketua yang mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tanggal 18 Agustus 1945 (A.M. Fatwa, Pancasila Karya Bersama Milik Bangsa, Jakarta: The Fatwa Center, 2010).
Substansi Pancasila merujuk kepada isi pidato Soekarno di depan rapat besar BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 di Gedung Tyuuoo Sangi-In, sekarang Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri Jalan Pejambon, Jakarta. Soekarno menyampaikan pidatonya tanpa teks untuk memenuhi permintaan Ketua BPUPKI Dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat: apa philosofische grondslag daripada Negara Indonesia Merdeka yang akan kita bentuk ini?”
Soekarno sebagai anggota BPUPKI dengan kecakapannya sebagai orator dan agitator yang hampir tak ada bandingnya di masa itu, mengajukan usulan lima prinsip dasar negara Indonesia, yaitu: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Peri-kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan sosial dan Ketuhanan. Pidato Soekarno disambut oleh hampir seluruh peserta rapat dengan tepuk tangan riuh.Dalam pidatonya Soekarno beberapa kali menyebut nama Ki Bagus Hadikusumo.
Soekarno menyebutnya lima prinsip, azas atau dasar. Simbolik angka, Rukun Islam lima jumlahnya, jari kita lima setangan, kita mempunyai panca indera. Bukan Panca Dharma, tapi menurutnya, atas saran seorang ahli bahasa dianggap lebih tepat istilah “Pancasila”. Pada saat itu, Soekarno menawarkan, barangkali ada yang tidak suka akan bilangan lima itu, sehingga boleh diperas tinggal tiga saja, Tri Sila, ialah socio-nationalisme, socio-democratie, dan ke-Tuhanan. Jikalau yang tiga menjadi satu, menjadi perkataan “gotong royong”. Pancasila menjadi Tri Sila, Tri Sila menjadi Eka Sila. Tetapi terserah mana yang tuan-tuan pilih, Tri Sila, Eka Sila ataukah Pancasila, demikian Soekarno.
Gotong Royong sebagai eka sila atau teori perasan Pancasila, pernah dibahas oleh Mr. Mohamad Roem dalam buku Tiga Peristiwa Bersejarah (Jakarta: Sinar Hudaya, 1972) sebagai berikut, “Tentu tidak ada orang yang menolak dasar ‘Gotong Royong’. Gotong Royong adalah ciri atau sila tersendiri yang hidup dalam masyarakat Indonesia sejak berabad-abad. Tetapi saya rasa terlalu jauh untuk mengganti lima sila itu dengan Gotong Royong. Terutama sila Ke-Tuhanan Yang Maha Esa tidak dapat dihilangkan atau diselipkan dalam ‘Gotong Royong’ bagi orang-orang yang memandang agamanya dengan sungguh-sungguh. Tetapi Alhamdulillah, perasan-perasan itu tidak sampai masuk di preambule UUD 45.”
Lima prinsip dasar negara yang dipaparkan Soekarno tanggal 1 Juni 1945 baru merupakan gagasan awal Pancasila, bukan rumusan Pancasila yang resmi dan mengikat. Mohamad Roem dalam buku Ketuhanan Y.M.E dan Lahirnya Pancasila, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977) mengatakan pidato Soekarno sewaktu diucapkan belum diberi nama. Pada tahun 1947 diterbitkan sebagai buku kecil diberi judul Lahirnya Pancasila.
Lima prinsip dasar yang dipaparkan Soekarno merupakan gagasan awal Pancasila, belum menjadi rumusan Pancasila yang resmi dan mengikat. Pancasila yang diterima secara resmi sebagai dasar negara terdiri dari lima sila yang saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Mohamad Roem dalam buku Ketuhanan Y.M.E dan Lahirnya Pancasila, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977) mengatakan pidato Soekarno sewaktu diucapkan belum diberi nama. Pada tahun 1947 diterbitkan sebagai buku kecil diberi judul Lahirnya Pancasila.
Sekilas kita tinjau arti penting pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945 dalam perspektif perjalanan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara. Sebelum Soekarno mendapat giliran menyampaikan pokok-pokok pikiran tentang dasar negara, rapat besar BPUPKI telah menyimak beberapa pidato tentang rancangan dasar negara, antara lain dari Mr. Muhammad Yamin pada 29 Mei 1945 dan Mr. Soepomo pada 31 Mei 1945. Muhammad Yamin mengemukakan lima asas yang kemudian dimuat dalam Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, ialah peri kebangsaan, peri ketuhanan, kesejahteraan rakyat, peri kemanusiaan, dan peri kerakyatan.
Sementara itu tokoh Islam dan Ketua PB Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo dalam pemikiran dan pendapatnya tentang Dasar Negara Indonesia, mengajak hadirin mencamkan; jika negara yang kita bangun ini mempunyai rakyat yang memiliki empat perkara pokok keringkasan ajaran Islam, yakni beriman, beribadat, beramal shaleh dan rela berjihad mempertahankan kebenaran dan keadilan, alangkah sentosanya, bahagianya, makmur dan sejahteranya negara kita ini. Ki Bagus Hadikusumo menggambarkan sudah enam abad Islam menjadi agama kebangsaan Indonesia dan tiga abad sebelum Belanda menjajah di sini, hukum Islam sudah berlaku di Indonesia. Oleh karena itu, untuk menyesuaikan dasar negara dengan jiwa rakyatnya, haruslah mengetahui betul-betul adanya jiwa keislaman rakyat, supaya nanti negara kita ini dapat menjadi negara yang kuat dan sentosa. Bagaimana kalau orang tidak mau diikat oleh agama yang sudah diakui tinggi dan suci, apakah kiranya akan mau diikat oleh pikiran yang rendah dan tidak suci? Kalau jiwa manusia tidak mau bertunduk kepada agama perintah Allah, apakah kiranya akan bertunduk kepada perintah pikiran yang timbul dari hawa nafsu yang buruk. Menutup pidatonya Ki Bagus Hadikusumo menyampaikan, mudah-mudahan Negara Indonesia baru yang akan datang itu berdasarkan agama Islam dan akan menjadi negara yang tegak dan teguh serta kuat dan kokoh.
Menurut Mohammad Hatta, uraian Soekarno tentang lima sila yang bersifat kompromistis, dapat meneduhkan pertentangan yang mulai tajam antara pendapat yang mempertahankan Negara Islam dan mereka yang menghendaki dasar negara sekuler, bebas dari corak agama. Sebelum sidang pertama ini berakhir, dibentuk suatu panitia kecil untuk:
Pertama, merumuskan kembali Pancasila sebagai dasar negara berdasarkan pidato yang diucapkan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945.
Kedua, menjadikan dokumen itu sebagai teks untuk memproklamasikan Indonesia Merdeka.
Dalam panitia kecil, dipilih 9 orang untuk menyelenggarakan tugas itu dan disetujui pada tanggal 22 Juni 1945 yang kemudian diberi nama “Piagam Jakarta”. (Mohammad Hatta, Pengertian Pancasila, Jakarta: Yayasan Idayu, 1981).
Panitia Kecil atau Panitia Sembilan BPUPKI yang diketuai Soekarno menyempurnakan rumusan Pancasila 1 Juni 1945. Prinsip kelima, yaitu “Ketuhanan” yang dalam pidato Soekarno diletakkan paling akhir diubah menjadi urutan pertama dengan tambahan kata, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” serta penyempurnaan pada keempat sila lainnya.
Piagam Jakarta
Prawoto Mangkusasmito dalam buku Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi (Jakarta: Bulan Bintang, 1970) menulis. “Pancasila sebagai dasar negara untuk pertama kali mendapatkan rumusnya yang lengkap pada tanggal 22 Juni 1945 dalam satu dokumen yang disusun dan ditandatangani oleh sebuah panitia terdiri dari 9 orang anggota Badan Penyelidik, yaitu Ir. Sukarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Mudzakkir, Haji Agus Salim, Mr. Achmad Subardjo, Wahid Hasjim, dan Mr. Muhammad Yamin. Panitia kecil dibentuk oleh rapat yang dihadiri 38 anggota Badan Penyelidik yang ada di Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 itu dan rapat tersebut dipimpin Ir. Sukarno. Rumusan Pancasila yang pertama itu kemudian terkenal dengan nama Piagam Jakarta atau Jakarta Charter.”
Piagam Jakarta disebut sebagai dokumen historis dan dokumen politik. Piagam Jakarta memuat gentlemen’s agreement (istilah dari Dr. Soekiman Wirjosanjojo) atau istilah Soekarno “persetujuan antara pihak Islam dan pihak kebangsaan” tentang dasar negara Republik Indonesia.
Mr. Muhammad Yamin yang memberikan nama Piagam Jakarta terhadap Rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar hasil kerja Panitia Sembilan. Rumusan Pancasila dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945 berbunyi: Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menurut Mohammad Hatta dalam buku Pengertian Pancasila, Panitia Sembilan mengubah urutan fundamen Pancasila itu, meletakkan fundamen moral di atas, fundamen politik di bawahnya. “Dengan meletakkan dasar moral di atas, negara dan pemerintahannya memperoleh dasar yang kokoh, yang memerintahkan berbuat benar, melaksanakan keadilan, kebaikan dan kejujuran serta persaudaraan ke luar dan ke dalam. Dengan politik pemerintahan yang berpegang kepada moral yang tinggi diciptakan tercapainya suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Prof. Mr. Kasman Singodimedjo, mantan anggota PPKI dalam ceramah Ramadhan tanggal 17 Agustus 1979 di Masjid Arief Rahman Hakim Kampus UI di Salemba Jakarta mengatakan, “Kemerdekaan RI dicetuskan tanggal 17 Agustus 1945 jam 10.00 pagi oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia. Apa yang tersedia pada tanggal 17 Agustus 1945 itu? Yang tersedia adalah Rancangan UUD dan Piagam Jakarta (Jakarta Charter), karena piagam sudah dibuat pada tanggal 22 Juni 1945 oleh Panitia Sembilan.” (Lukman Hakiem, editor. Dari Muhammadiyah Untuk Indonesia; Pemikiran dan Kiprah Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Kasman Singodimedjo, dan KH Abdul Kahar Mudzakkir. Jakarta: PP Muhammadiyah, 2013).
Mengenai Piagam Jakarta, Pahlawan Nasional Mahaputera Prof. Dr. Mr. H. Muhammad Yamin menegaskan, “Piagam Jakarta berisi garis-garis pemberontakan melawan imperialisme-kapitalisme dan fascisme, serta memuat dasar pembentukan Negara Republik Indonesia. Piagam Jakarta yang lebih tua dari Piagam Perdamaian San Franscisco (26 Juni 1945) dan Kapitulasi Tokyo (15 Agustus 1945) itu ialah sumber berdaulat yang memancarkan Proklamasi Kemerdekaan dan Konstitusi RI. Piagam Jakarta itulah yang menjadi Mukaddimah (preambule) Konstitusi RI serta Undang-Undang Dasar 1945, disusun menurut filosofi-politik yang ditentukan di dalam piagam persetujuan itu. Piagam Jakarta berisi pula kalimat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yang dinyatakan tanggal 17 Agustus 1945 itu. Piagam Jakarta itulah yang melahirkan Proklamasi dan Konstitusi.” (Mr. Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia. Djakarta: Djambatan, 1952).
Piagam Jakarta secara meteril merupakan konsensus nasional tentang dasar negara Republik Indonesia. Piagam Jakarta merupakan hasil kompromi antara golongan nasionalis islami yang menginginkan negara Indonesia dibangun di atas dasar-dasar ajaran Islam dan golongan kebangsaan netral agama yang menginginkan negara nasional dengan pemisahan secara mutlak agama dari kehidupan bernegara.
Dalam Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959 tentang Kembali Ke Undang-Undang Dasar 1945, setelah rapat-rapat Konstituante tidak berhasil mencapai suara terbanyak untuk menetapkan dasar negara dalam rangka pembentukan undang-undang dasar baru sebagai pengganti Undang-Undang Dasar Sementara 1950, pada konsiderannya menegaskan “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut”. Dekrit Presiden yang menyebut di dalamnya Piagam Jakarta, bukan sekadar dokumen sejarah, tetapi sebuah dokumen hukum dalam riwayat ketatanegaraan yang sampai sekarang masih berlaku.
Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, Menteri Agama periode 1962 – 1967 dan tokoh Nahdlatul Ulama, dalam Kata Pengantar buku Piagam Jakarta karya Endang Saifuddin Anshari berpendapat, “Piagam Jakarta tidak kehilangan fungsinya maupun peranannya sebagai alat pemersatu seluruh bangsa Indonesia seperti yang pernah diucapkan oleh Presiden Soekarno dalam rapat peringatan lahirnya Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1965 di Istora Jakarta. Dan, 9 tokoh nasional yang menandatangani Piagam Jakarta itu sendiri pun merupakan perekat persatuan bangsa Indonesia.” (Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Bandung: Pustaka – Perpustakaan Salman ITB, 1401 H – 1981 M).
Salah satu tokoh Masyumi Dr. H. Anwar Harjono, SH ketika menanggapi kesalahpahaman banyak kalangan tentang Piagam Jakarta, menyatakan, “Piagam Jakarta kerapkali diidentikkan dengan gagasan Negara Islam, dalam pengertian yang tidak tepat pula. Penulis sependapat dengan Ismail Suny yang mengatakan bahwa orang tidak perlu menjadi Guru Besar Hukum Tata Negara dahulu, karena cukup jelas, bahwa dengan ketentuan tujuh kata-kata dalam Piagam Jakarta sama sekali tidak berarti telah terbentuk Negara Islam. Dengan tujuh kata-kata itu hanya dapat diartikan bahwa hukum Islam berlaku bagi pemeluk-pemeluk Islam sebagai halnya politik Hindia-Belanda sebelum tahun 1929.” (Anwar Harjono, Perjalanan Politik Bangsa, Jakarta: Gema Insani Press, 1997).
Toleransi Pemimpin Islam
Sore hari 17 Agustus 1945, sekitar pukul 17.00 Mohammad Hatta menerima tilpon dari Nishiyama, pembantu Admiral Maeda, menanyakan kesediaan untuk menerima tamu seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Tamu itu hendak menyampaikan suatu hal yang amat penting bagi Indonesia. Opsir dimaksud – Bung Hatta sendiri lupa namanya – mengaku datang sebagai utusan Kaigun untuk memberitahukan bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik di daerah yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang berkeberatan terhadap bagian dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar yang berbunyi: “Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Jika bagian kalimat itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.
Siapakah opsir Kaigun yang datang ke rumah Mohammad Hatta di Jalan Diponegoro No 57 Jakarta tanggal 17 Agustus 1945 pukul 17.00 sore itu, masih menjadi “pertanyaan sejarah”. Dalam buku Lahirnya Satu Bangsa dan Negara (Jakarta: UI Press, 1997) disebut, utusan yang datang menemui Bung Hatta saat itu adalah aktifis mahasiswa Ika Daigaku (Sekolah Kedokteran) dari Asrama Prapatan 10 Jakarta. Mereka yang datang tiga orang memiliki postur tubuh tidak tinggi dan berpakaian seragam Angkatan Laut Jepang, sehingga mirip seperti orang Jepang. Saya pernah menanya pendapat Prof. Dr. Taufik Abdullah mengenai hal itu. Menurut Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tersebut, “Memangnya Bung Hatta itu bodoh, sehingga tak bisa membedakan antara orang Jepang dan orang pribumi yang mirip Jepang?”
Mohammad Hatta mengungkapkan bahwa ia tidak menerima begitu saja keberatan dimaksud, “Saya katakan bahwa itu bukan suatu diskriminasi, sebab penetapan itu hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Waktu merumuskan Pembukaan Undang-Undang Dasar itu, Mr. Maramis yang ikut serta dalam Panitia Sembilan, tidak mempunyai keberatan apa-apa dan pada tanggal 22 Juni ia ikut menanda-tanganinya.” (Mohammad Hatta, Sekitar Proklamasi, Jakarta: Tintamas, 1970).
Mohammad Hatta akhirnya menerima keberatan dimaksud dan berjanji akan menyampaikan kepada rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945, esok harinya. Pagi hari 18 Agustus 1945 menjelang dimulainya rapat PPKI dengan agenda pengesahan Undang-Undang Dasar, Bung Hatta melobi tiga orang anggota PPKI mewakili golongan Islam yang ada ketika itu, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan Teuku M. Hasan. Dalam keterangan Prawoto, K.H.A.Wahid Hasjim tidak hadir dalam pertemuan 18 Agustus 1945 karena sedang perjalanan ke Jawa Timur.
Mohammad Hatta meminta tiga tokoh Islam itu bersedia menghapus tujuh kata dalam rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar dan menggantinya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ki Bagus Hadikusumo, pucuk pimpinan Muhammadiyah, satu-satunya eksponen perjuangan Islam yang paling senior waktu itu semula keberatan, mengingat rumusan kalimat mengenai kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya merupakan hasil musyawarah-mufakat dalam rapat BPUPKI 22 Juni 1945. Kasman Singodimedjo dan Teuku M. Hasan membujuk Ki Bagus agar menerima saran Mohammad Hatta, karena keputusan terakhir ada pada Ki Bagus Hadikusumo.
Ki Bagus Hadikusomo waktu itu juga mengusulkan perubahan kalimat: “Ke-Tuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”. Ki Bagus meminta kalimat “menurut dasar” dihapus, sehingga berbunyi, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, kemanusiaan yang adil dan beradab, dan seterusnya. Perubahan lain pada Rancangan UUD 1945 yaitu pasal 6 ayat 1 bahwa “Presiden ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam”, bagian kalimat “yang beragama Islam” dihapus.
Dalam bukunya Sekitar Proklamasi Mohammad Hatta menjelaskan, “Pada waktu itu kami dapat menginsafi, bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan menghilangkan perkataan ‘Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ dan menggantinya dengan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Dalam Negara Indonesia yang memakai kemudian semboyan Bhineka Tunggal Ika, tiap-tiap peraturan dalam kerangka Syariat Islam, yang hanya mengenai orang Islam dapat dimajukan sebagai rencana Undang-Undang ke DPR, yang setelah diterima oleh DPR mengikat umat Islam Indonesia. Dengan cara begitu lambat laun terdapat bagi umat Islam Indonesia suatu sistem Syariat Islam yang teratur dalam Undang-Undang, berdasarkan Quran dan Hadis, yang sesuai pula dengan keperluan masyarakat Islam sekarang.”
Salah satu pelaku sejarah Prof. Mr. Kasman Singodimedjo menyatakan, “Perubahan tujuh kata rumus “Ke-Tuhanan” itu amat penting, karena “Yang Maha Esa” menentukan arti dari Ketuhanan. Pancasila yang kini secara geruisloos menjadi filsafat negara kita itu, tidak mengenal Ke-Tuhanan sembarang ketuhanan. Sekali lagi bukan ketuhanan sembarang ketuhanan, tetapi yang dikenal oleh Pancasila ialah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Bung Hatta sendiri pada bulan Juni dan Agustus 1945 menjelaskan bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, tidak lain kecuali Allah.” (Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman, Hidup Itu Berjuang, Jakarta: Bulan Bintang, 1982).
Kesediaan Ki Bagus Hadikusumo menghapus tujuh kata mengenai syariat Islam sekaligus menjadi “kunci” pengesahan Pembukaan UUD 1945 yang memuat prinsip-prinsip dasar negara Pancasila. Prawoto Mangkusasmito, sebagaimana dikutip Endang Saifuddin Anshari, beberapa tahun kemudian bertanya kepada Ki Bagus Hadikusumo tentang arti istilah “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jawab Ki Bagus singkat saja, yaitu “Tauhid”. Hal yang sama dikonfirmasi pula kepada Mr. Teuku M. Hasan, saksi sejarah yang hadir dalam pertemuan 18 Agustus 1945, tokoh asal Aceh itu tidak membantahnya.
Perintis kemerdekaan dan pahlawan nasional dari keturunan Arab Abdurrahman Baswedan dalam artikelnya Siapa Yang Sebenarnya Musuh Pancasila (Mingguan Islam Populer Hikmah No 23 Tahun 1954) mengungkapkan, ”Karena adanya ajaran-ajaran Islam itulah maka prinsip-prinsip Pancasila itu sebelum lahirnya Pancasila telah menjadi filsafat hidup bangsa Indonesia umumnya! Walaupun umum bangsa kita itu tidak dapat merumuskannya dalam kata-kata yang dipakai dalam perumusan Pancasila itu. Riwayat terjadinya perumusan Pancasila dapat menceritakan bahwa kalau Pancasila itu dikatakan suatu hasil kompromis di antara beberapa pihak yang berbeda-beda ideologi, toh bagi pihak Islam tiada satupun dari sila-sila yang lima itu yang tidak dapat diterimanya! Terutama atas dasar keyakinan bahwa sila yang pertama itu, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, adalah sebagai dasar daripada sila-sila yang lain.”
Keputusan rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia sehari setelah proklamasi kemerdekaan tanggal 18 Agustus 1945 menetapkan Piagam Jakarta sebagai Pembukaan UUD 1945 dengan perubahan tujuh kata sebagaimana dijelaskan di atas. Mohammad Hatta menyebut hal itu sebagai “toleransi pemimpin-pemimpin Islam” (Mohammad Hatta, Memoir, Jakarta: Tintamas, 1982). Soekarno ketika itu mengatakan, “Tuan-tuan semua tentu mengerti, bahwa Undang-Undang Dasar yang kita buat sekarang ini adalah Undang-Undang Dasar Sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan, ini adalah Undang-Undang Dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna.”
Perubahan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tidak menghilangkan substansi hubungan negara dan agama yang telah terpatri dalam konstitusi negara. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ditegaskan; (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Mohammad Hatta dalam pidato memperingati lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni 1977 di Gedung Kebangkitan Nasional Jakarta mengingatkan seluruh bangsa Indonesia tentang makna sila Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak sekadar hanya dasar hormat menghormati agama masing-masing, melainkan jadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan persaudaraan. Pemerintahan negara pada hakikatnya tidak boleh menyimpang dari jalan yang lurus untuk mencapai kebahagiaan rakyat dan keselamatan masyarakat, perdamaian dunia serta persaudaraan bangsa-bangsa. Manakala kesasar sewaktu-waktu dalam perjalanan, karena kealpaan atau digoda hawa nafsu, ada terasa senantiasa desakan ghaib yang membimbing kembali ke jalan yang benar.” (Mohammad Hatta, Pengertian Pancasila, Jakarta: Yayasan Idayu, 1981).
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, merefleksikan amanat perjuangan umat Islam sebagai golongan mayoritas dan elemen bangsa lainnya. Umat Islam, – kata Mohammad Natsir, Pemimpin Masyumi dan Perdana Menteri RI tahun 1950-1951 – sejak awal kemerdekaan sadar bahwa kita hidup dalam masyarakat yang majemuk (pluralistik) dan umat Islam Indonesia tidak pernah menohok teman seiring.
Presiden Soekarno, sebagai tokoh penggali Pancasila, dalam Kuliah Umum berjudul “Negara Nasional dan Cita-cita Islam” di Universitas Indonesia tanggal 7 Mei 1953 atas permintaan Ketua Umum PB HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) A. Dahlan Ranuwihardjo menegaskan, “Tentang kedudukan Pancasila dan Islam, aku tidak bisa mengatakan lebih daripada itu dan mensitir Saudara Pemimpin Besar Masyumi, Mohammad Natsir. Di Pakistan, di Karachi, tatkala beliau mengadakan ceramah di hadapan Pakistan Institute for International Relation beliau mengatakan bahwa Pancasila dan Islam tidak bertentangan satu sama lain.”
Dalam kaitan itu sangat beralasan ketika Alamsjah Ratu Perwiranegara, Menteri Agama periode 1978 – 1983 menegaskan, “Pancasila adalah pengorbanan dan hadiah terbesar umat Islam untuk persatuan dan kemerdekaan Indonesia.” (H. Alamsjah Ratu Perwiranegara, Islam dan Pembangunan Politik Di Indonesia, Jakarta, CV Haji Masagung, 1987).
Sejalan dengan penegasan Alamsjah, patut digaris-bawahi para pemimpin dan umat Islam menerima dasar negara Pancasila bukan karena alasan politis dan taktis, melainkan dengan alasan teologis dan prinsip. Sebab, tidak satu pun di antara kelima sila yang bertentangan dengan akidah dan syariat Islam. Begitulah gambaran umum pandangan mainstream umat Islam Indonesia terhadap Pancasila dari dahulu sampai sekarang.
Menurut Dr. Muhammad ‘Imaduddin ‘Abdulrahim, M.Sc, “Kelima sila yang tertera dalam Pancasila itu memanglah merupakan saripati dan ajaran agama Islam yang telah digali oleh para tokoh pendiri republik ini dahulu. Oleh karena itu tepatlah jika dikatakan, bahwa Pancasila adalah sumbangsih termulia umat Islam Indonesia kepada bangsanya.” (A.M. Fatwa, Saya Menghayati dan Mengamalkan Pancasila Justru Saya Seorang Muslim, Surabaya: PT Bina Ilmu, 2002).
Saya memandang tepat sekali kesimpulan Bang ‘Imad, tokoh pendiri dan penggerak dakwah Masjid Salman ITB itu. Kalau dicermati lebih jauh, dalam rumusan lima sila Pancasila, terdapat 8 kata yang berasal dari bahasa Arab dan akar kata Al-Quran, yaitu, adil, beradab, kerakyatan, hikmat, permusyawaratan, perwakilan, keadilan, dan rakyat. Kata adil/keadilan dua kali diulang pada sila kedua dan sila kelima. Selain itu, di dalam kalimat Pembukaan UUD 1945, alinea ke-3, terdapat tiga kata yang mengandung makna spiritualitas dan relijiusitas khususnya bagi umat Islam, yaitu berkat, rahmat, Allah. Suatu bukti bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia didirikan dengan kesadaran keagamaan. Konstitusi negara kita dirancang oleh para Bapak Bangsa yang arif bijaksana dan menghormati nilai-nilai hidup beragama.
The Guardian of Ideology
Negara Indonesia bukan negara sekuler. Pemimpin negara kita semenjak dulu menggambarkan masyarakat Pancasila adalah sosialistis religius. Oleh karena itu, jangan pertentangkan Pancasila dengan agama, atau sebaliknya. Umat Islam adalah bagian penting dari perjuangan mendirikan dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dari berbagai ancaman, gangguan dan tantangan. Kesadaran dan ketaatan beragama adalah benteng pengamalan Pancasila. Kesetiaan umat Islam kepada Pancasila akan terusik kalau Pancasila dijauhkan dari agama, diisi dengan paham sekuler atau paham yang bertentangan dengan agama.
Bila direnungkan, tantangan berat yang kita hadapi sekarang adalah mengoperasionalisasikan Pancasila secara murni dan konsekuen, terutama sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menciptakan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila bukan sekadar slogan, tetapi misi yang harus diwujudkan.
Bapak Bangsa, Soekarno, pada pidato 1 Juni 1945 di dalam rapat BPUPKI menegaskan, “Prinsip kesejahteraan, prinsip: tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka……. Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang-pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, saudara-saudara? Jangan saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di negara-negara Eropah adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire democracy. Tetapi tidakkah di Eropah justru kaum kapitalis merajalela? Di Amerika ada suatu badan perwakilan rakyat, dan tidakkah di Amerika kaum kapitalis merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum kapitalis merajalela? Padahal ada badan perwakilan rakyat! Apakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki? Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiekeconomische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial!” tegas Bung Karno.
Bangsa Indonesia harus tetap yakin dengan cita-cita yang dituju, meski belum bisa ditunjukkan masyarakat adil dan makmur itu secara empiris. Namun para penyelenggara negara tidak boleh main-main dengan prinsip kesejahteraan yang merupakan janji Proklamator Kemerdekaan. Peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni bukan sekadar memperingati tanggalnya, tetapi hendaknya menjadi momentum untuk merenungkan kembali isi, semangat dan relevansi pidato Bung Karno yang bersejarah pada tanggal tersebut dalam konteks realitas kekinian.
Di suatu negara demokrasi, landasan falsafah dan dasar negara bukan sesuatu yang terlarang untuk dikaji secara obyektif-ilmiah. Dalam kaitan itu, kajian dan penelitian ilmiah tentang aktualisasi dan implementasi Pancasila dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara perlu dikembangkan di perguruan tinggi dalam semangat kebebasan akademik. Sampai kini masih langka di negara kita doktor dan guru besar di bidang perbandingan ideologi dan pengembangan Pancasila.
Sejauh ini, kita belum punya parameter yang disepakati mengenai operasionalisasi Pancasila, misalnya di bidang politik, ekonomi, demokrasi, pemerintahan, kebijakan publik, kebudayaan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pertahanan dan keamanan, hubungan internasional dan sebagainya. Kita tidak boleh terbuai dengan jargon, retorika dan formalisme Pancasila, melainkan harus paham dengan substansi dan operasionalisasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sistem politik dan pemerintahan serta sistem ekonomi yang dilandasi nilai-nilai Pancasila harus dapat diwujudkan dalam kenyataan.
Setelah Reformasi, sejak 2003 untuk pertama kali Indonesia memiliki Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) sebagai lembaga negara dan cabang kekuasaan kehakiman yang diberikan kewenangan menguji materill dan membatalkan suatu undang-undang atau kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam bentuk undang-undang, terhadap Undang-Undang Dasar. Dalam praktik, Mahkamah Konstitusi bukan sekadar “the guardian of constitution”, tetapi sebagai “the guardian of ideology”. Para Hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara diharapkan selalu menggunakan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dan UUD 1945.
Dengan demikian, boleh dikatakan sistem hukum di negara kita tidak hanya bisa menindak pengkhianatan dan makar terhadap negara. Sistem hukum yang berlaku di negara kita bahkan bisa melakukan mitigasi dan tindakan korektif atas pelanggaran terhadap nilai-nilai Pancasila sebagai “the living constitution” dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara melalui mekanisme pengujian materil suatu undang-undang dan kewenangan lainnya yang melekat dalam tugas dan fungsi Mahkamah Konstitusi.
Pengamalan Pancasila memerlukan tanggungjawab moral setiap warga negara dan penyelenggara negara. Kesetiaan pada ideologi Pancasila tidak bisa dibangun melalui indoktrinasi,tetapi memerlukan proses belajar, pembudayaan serta keteladanan para pemimpin dan penyelenggara negara. Bangsa Indonesia yang secara genealogi pernah mengalami era feodalisme dan kolonialisme telah melewati perjalanan panjang untuk mengubah mentalitas negara kolonial menjadi mentalitas negara nasional dan konstitusional. Oleh karena itu, segenap warga negara perlu memahami tujuan bernegara, apa saja yang terjadi dalam perjalanan bangsa selama ini, dan apa yang harus diperbaiki ke depan.
Semua elemen bangsa perlu berpikir jernih dan bebas dari dendam sejarah, termasuk dalam membaca kedudukan Pancasila dan kedudukan agama secara konstitusional di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Cara pandang dan cara berpikir kritis-konstruktif tetap harus dikedepankan dalam konteks bela negara dan menjaga keutuhan bangsa di atas landasan ideologis konstitusional. Di samping itu, adalah penting memelihara modal sosial yaitu sikap saling percaya antara rakyat dengan penyelenggara negara, dan yang tidak kalah pentingnya ialah menghindari faktor penyebab rusaknya kepercayaan tersebut.
Wallahu a’lam bisshawab.
Jakarta, 17 Ramadhan 1441 H
Artikel asli (10 Mei 2020): https://fuadnasar.wordpress.com/2020/05/10/pancasila-perjalanan-sebuah-ldeologi-dan-dasar-negara/