Ibnu Battuta dan Samudra Pasai

Avatar photo

Zico Pratama Putra

Electrical Engineer, Lecturer & History Antusiast

Ibnu Battuta di versi wiki dia lahir pada February 25, 1304 & wafat 1368. Sedangkan Az Zarkali mencantumkan 1304-1377 M / 703-779 H.

Jika bukan karena pertanyaan satu pembaca kemarin yang memberikan pranala bukunya, mungkin tidak tergerak saya melihat-lihat bukunya yang agung berjudul “Ar Rihlah”. Kita mungkin pernah dengar namanya disebut hanya dibuku-buku sejarah sekolah. Buku ini merupakan rangkuman perjalanan Ibnu Battuta keliling dunia. Travelnya selama 27 tahun ini membuat Sultan Maroko takjub, sehingga memohon agar beliau sudi membukukannya. Akhirnya beliau meminta muridnya untuk menulis apa yang beliau diktekan.

Versi waqfeya dapat 800 halaman dalam 1 jilid, tahqiqnya basic & susah di trace. Versi syamila, dicetak oleh kerajaan Maroko sebanyak 5 jilid dan lengkap dgn daftar pustaka, tapi footnote sayang tidak disalinkan. Awal mulanya karya Ibnu Battuta ini kurang tersebar di dunia. Tapi itu biasa, banyak jagoan yang terkenal baru belakangan.

Kita keduluan dua abad untuk baca buku ini. Para orientalis abad 19 menemukan kitab ini duluan, diantaranya oleh H.A.R Gibb, seorang orientalis besar. Dan segera setelah itu dicetak besar-besaran dan diterjemahkan ke berbagai bahasa. Sambutan dan pujian bule-bule cukup keterlaluan, puluhan paper ilmiah lahir dari menganalisa kitab ini di abad 19-20. Karena sampai zaman Ibnu Battuta, sangat langka ada eksplorer yang merekam kehidupan disegala penjuru dunia. Jawaharlal Nehru, pendiri negara India sampai mengatakan “This is a record of travel which is rare enough today with our many conveniences…. In any event, Ibnu Battuta must be amongst the great travelers of all time”.

Tapi sampai sekarang belum ada yang berbahasa Indonesia, padahal ini buku mencantumkan bukti paling sahih bahwa negara Indonesia itu memiliki eksistensi, bahwa ada kerajaan Islam pertama Samudera Pasai, bahwa ada kerajaan Majapahit, bahwa negeri kita adalah negeri kaya rempah-rempah. Bahwa semua barang yang Ibnu Battuta pernah lihat di negeri lain, mesti ada di Indonesia, bahwa Indonesia adalah negara laut terkuat di dunia zaman itu.

Jadi, siapakah Ibnu Battuta?

Ibnu Battuta adalah petualang muslim Maroko abad 14 M dan tergolong ulama juga. Beliau memulai perjalanannya dari mulai berangkat haji dari Maroko pada usia 21 tahun yang memakan waktu 16 bulan. Sejak itu, dia merantau selama 24 tahun dan tidak kembalik ke Maroko. Total beliau sudah melancong sejauh 120 ribu km dan berkunjung ke 44 negara. Bahkan Marco Polo pun masih kalah jauh, karena total perjalanan Marco tidak ada setengah dari Ibnu Battuta.

Perjalanannya dimulai pertama kali berkendara dengan keledai, lalu kemudian bergabung dengan karavan jamaah haji. Rute haji zaman itu rawan bandit, dan beliau juga pernah jadi korbannya. Singgah di Mesir, beliau mengambil kuliah hukum Islam, lalu kemudian lanjut ke Mekkah. Beliau pernah bermimpi ada seekor burung besar dan membawanya mengangkasa jauh ke arah timur. Seorang syekh menafsirkan mimpinya bahwa dia akan berjalan melintasi dunia, maka beliau pun tergerak mewujudkan mimpinya.

Dia mengunjungi negeri-negeri seperti Iraq, persia, negeri-negeri arab, somalia, swahili, lalu juga turki, asia tengah, asia tenggara, sampai china. Dia menempuh bahaya dan menantang maut sepanjang perjalanan, mulai dari ketemu bandit, nyaris tenggelam di kapal yang karam, hampir dipenggal penguasa tiran, dan bahkan lolos dari Black Death. Black Death adalah penyakit pandemik paling mematikan zaman itu, merenggut hampir 200 juta jiwa seantero Arab, Afrika, dan sampai Eropa. Keganasannya belum bisa ditandingi oleh flu burung, AIDS, asian flu dan sepuluh besar penyakit pandemik dunia digabung jadi satu. Kita bisa bayangkan makhluk bernama Ibnu Battuta ini nyawanya mungkin sampai sembilan!

Selama travelnya tersebut, beliau sering kali singgah cukup lama dan pemerintah setempat senang sekali meminta jasanya dan mengangkatnya berkali-kali sebagai hakim. Beliau menjadi pejabat untuk banyak negara. Sebagai pejabat dan orang paling dibutuhkan dunia, banyak sudah perbekalan dan hadiah yang beliau dapat untuk membiayai hidupnya. Mulai dari tahta, harta, permata, sampai wanita. Itulah cara beliau menghidupi diri dan membiayai perjalanannya.

Perjalanan terjauhnya adalah sampai China. Battuta menggambarkan Mongol China sebagai “negara paling aman dan terbaik bagi para pelancong” dan memuji keindahan alamnya, tetapi ia juga mengeluhkan keyakinan musyrik yang umumnya dipegang bangsa tersebut.

Tapi beliau ke China saat pemerintahan Mongol dipegang kaum muslimin. Beliau gambarkan ketika di Kanton bahwa negeri tersebut banyak masjid jami, zawiya, orang saleh, hakim dan ulama, madrasah, dan syiar2 Islam umumnya nampak di negeri islam lainnya. Bertamu kepada Auhidudin As Sanjari, seorang hartawan terkemuka, selama 14 hari. Beliau menyebut bahwa jarak kota itu dari Tembok Yajuj & majuj sejauh 60 hari perjalanan. Beliau tidak berani kesana karena rumornya, setiap orang yang tiba disana akan jadi santapan penduduk. Beliau juga mampir ke kota seperti Hangzhou yang beliau gambarkan “kota terbesar yang pernah saya lihat di muka bumi”.

Sultan Jawa

Beliau melawat ke Samudra Pasai tahun 1345, yaitu dalam rangka perjalanan ke China. Karena untuk sampai ke China dari India, mestilah melewati Aceh dulu. Saat itu, kerajaan Samudra Pasai dipimpin raja keduanya, Sultan Malikuzh Zhahir bin Sultan Malikus Saleh. Ibnu Battua menyebut bahwa kerajaan ini bermadzhab syafii, yang rajanya sangat saleh, cinta pada ulama dan rajin mengaji. Raja juga seorang mujahid, seorang yang tawadhu. Beliau berangkat ke mesjid dengan berjalan kaki. Rakyatnya pun sangat taat dan senang jika diajak berjihad. Bayangkan, saat itu negeri kita dikelilingi penyembah berhala, bahkan menurut Marco Polo, ada juga bangsa primitif pemakan manusia. Sultan selalu menang mengalahkan negeri-negeri sekitarnya, sehingga negeri tersebut akan ditariki pajak atau jizyah.

Oiya, meskipun pulau tersebut sejak dulu disebut dengan nama “Sumatra”, tapi negeri Indonesia sejak dulu disebut orang dengan nama “Negeri Jawa”. Bahkan sampai sebelum kemerdekaan kita berubah nama jadi Indonesia, orang2 muslim diluar sana selalu menyebut kita “Orang Jawa”. Setelah kemerdekaan, makna Jawa jadi menyempit kepada pulau yang berada di tengah2 Indonesia agak kebawah sono. Pada masa itu, Samudra Pasai adalah pelosok terjauh Darul Islam (wilayah berpemerintahan Islam), karena sesuai perkataan sultan Malikuzh zhahir, tidak ada lagi wilayah lain di sebelah timur Samudra Pasai yang diperintah penguasa Muslim.

Saat pertama kali datang ke istananya, kata Ibnu Bathutah, ia bertemu dengan wakil sultan yang bernama Umdatul Malik, Dengan ramah, ia memberikan salam dan menyalami Ibnu Bathutah, lalu kemudia menulis surat kepada Sang Sultan untuk memberitahukan kedatangan tamu jauhnya tersebut.

Ibnu Bathutah melanjutkan ceritanya,”Beberapa saat kemudian, pelayan datang sambil membawa kotak pakaian. Wakil sultan mengambilnya dan aku juga ikut mengambilnya. Setelah itu, aku dipersilahkan masuk ke sebuah ruangan peristirahatan. Biasanya, wakil sultan pergi ke balai istana sesudah shalat subuh dan tidak pulang kecuali setelah isya’ akhir. Begitu juga para menteri dan pembesar kerajaan. Wakil sultan mengambil tiga jenis kain dari kota pakaian tersebut: yang pertama, kain sutra murni; yang kedua kain sutra bercampur katun; dan yang ketiga kain sutra bercampur kapas.Kemudian para pelayan datang membawa makanan. Makanan yang dikeluarkan berupa nasi dengan beraneka ragam lauk. Setelah itu, didatangkan daun sirih sebagai pertanda acara selesai. Kami lalu mengambil daun sirih tersebut dan berdiri. Wakil sultan juga berdiri untuk menghormat kami. Kami lalu keluar dari balai dan menuju kuda tunggangan. Wakil sultan juga mengambil kuda tunggangan. Setelah itu, kami pergi ke sebuah kebun yang diberi pagar kayu. Di tengah-tengah kebun terdapat rumah yang terbuat dari kayu. Di bagian bawah rumah tersebut dihampari tikar.”

Ia kembali menceritakan,

“Menurut kebiasaan sultan, tamu yang datang dari jauh harus diterima menghadapnya tiga hari setelah tiba, agar letihnya perjalanan menjadi hilang. A̷k̷u̷ ̷k̷e̷m̷u̷d̷i̷a̷n̷ ̷d̷i̷t̷e̷m̷p̷a̷t̷k̷a̷n̷ ̷d̷i̷ ̷b̷a̷i̷t̷ ̷a̷d̷h̷-̷d̷h̷u̷y̷u̷f̷ ̷(̷w̷i̷s̷m̷a̷ ̷t̷a̷m̷u̷)̷ ̷y̷a̷n̷g̷ ̷t̷e̷r̷l̷e̷t̷a̷k̷ ̷d̷i̷ ̷t̷e̷n̷g̷a̷h̷-̷t̷e̷n̷g̷a̷h̷ ̷t̷a̷m̷a̷n̷ ̷y̷a̷n̷g̷ ̷r̷i̷n̷d̷a̷n̷g̷,̷ ̷d̷e̷n̷g̷a̷n̷ ̷p̷e̷p̷o̷h̷o̷n̷a̷n̷ ̷h̷i̷j̷a̷u̷ ̷d̷a̷n̷ ̷b̷u̷n̷g̷a̷-̷b̷u̷n̷g̷a̷ ̷b̷e̷r̷a̷n̷e̷k̷a̷ ̷r̷u̷p̷a̷.̷ ̷P̷a̷r̷a̷ ̷p̷e̷l̷a̷y̷a̷n̷ ̷d̷i̷ ̷w̷i̷s̷m̷a̷ ̷t̷a̷m̷u̷ ̷i̷t̷u̷ ̷t̷e̷r̷d̷i̷r̷i̷ ̷d̷a̷r̷i̷ ̷a̷n̷a̷k̷-̷a̷n̷a̷k̷ ̷m̷u̷d̷a̷ ̷y̷a̷n̷g̷ ̷p̷e̷r̷a̷m̷a̷h̷.̷ ̷K̷e̷c̷u̷a̷l̷i̷ ̷n̷a̷s̷i̷ ̷d̷a̷n̷ ̷r̷o̷t̷i̷ ̷s̷e̷m̷a̷c̷a̷m̷ ̷m̷a̷r̷t̷a̷b̷a̷k̷ ̷(̷r̷o̷t̷i̷ ̷c̷a̷n̷e̷)̷,̷ ̷a̷k̷u̷ ̷d̷i̷h̷i̷d̷a̷n̷g̷i̷ ̷a̷n̷e̷k̷a̷ ̷b̷u̷a̷h̷-̷b̷u̷a̷h̷a̷n̷,̷ ̷s̷e̷p̷e̷r̷t̷i̷ ̷p̷i̷s̷a̷n̷g̷,̷ ̷a̷p̷e̷l̷,̷ ̷a̷n̷g̷g̷u̷r̷,̷ ̷r̷a̷m̷b̷u̷t̷a̷n̷ ̷d̷a̷n̷ ̷s̷e̷b̷a̷g̷a̷i̷n̷y̷a̷.̷

Hari keempat, aku masih beristirahat di wisma tamu yang mewah itu. Saat itu, kebetulan hari Jumat. Menteri Luar Negeri Al-Isfahany memberitahuku bahwa aku akan diterima menghadap sultan setelah Shalat Jumat, bertempat di Aula khusus Masjid Jami’ itu. Setelah semua berkumpul, aku memperhatikan, yang mana Sultan Malik Azh-zhahir di antara ribuan Jamaah Masjid Jami’ yang luas itu. S̶e̶m̶u̶a̶ ̶o̶r̶a̶n̶g̶ ̶s̶a̶m̶a̶,̶ ̶b̶e̶r̶p̶a̶k̶a̶i̶a̶n̶ ̶p̶u̶t̶i̶h̶.̶ ̶J̶u̶g̶a̶ ̶t̶i̶d̶a̶k̶ ̶t̶e̶r̶s̶e̶d̶i̶a̶ ̶t̶e̶m̶p̶a̶t̶ ̶k̶h̶u̶s̶u̶s̶ ̶b̶a̶g̶i̶ ̶s̶u̶l̶t̶a̶n̶ ̶d̶a̶n̶ ̶t̶i̶d̶a̶k̶ ̶a̶d̶a̶ ̶o̶r̶a̶n̶g̶ ̶y̶a̶n̶g̶ ̶d̶i̶b̶e̶r̶i̶ ̶p̶e̶n̶g̶h̶o̶r̶m̶a̶t̶a̶n̶ ̶s̶e̶p̶e̶r̶t̶i̶ ̶l̶a̶y̶a̶k̶n̶y̶a̶ ̶p̶a̶r̶a̶ ̶r̶a̶j̶a̶ ̶d̶i̶ ̶z̶a̶m̶a̶n̶ ̶i̶t̶u̶.̶ ̶“̶A̶p̶a̶k̶a̶h̶ ̶s̶u̶l̶t̶a̶n̶ ̶s̶a̶k̶i̶t̶ ̶s̶e̶h̶i̶n̶g̶g̶a̶ ̶t̶i̶d̶a̶k̶ ̶k̶e̶ ̶M̶a̶s̶j̶i̶d̶ ̶?̶”̶ ̶t̶a̶n̶y̶a̶k̶u̶ ̶d̶a̶l̶a̶m̶ ̶h̶a̶t̶i̶.̶

Selesai shalat Jumat, Al-Isfahany mempersilahkan aku memasuki aula masjid yang luas itu, dan aku diperkenalkan kepada Sultan Malik Azh-Zhahir yang telah terlebih dahulu masuk ke aula dan masih berpakaian putih. Di dalam aula yang berwibawa itu, telah datang terlebih dahulu para menteri, para ulama terkemuka, para pemimpin rakyat, dan para wanita yang memakai jilbab. Aku didudukkan di sebelah kanan sultan. Selesai makan siang bersama, dilanjutkan dengan diskusi yang membahas berbagai masalah dalam negeri dan agama, juga masalah ekonomi, kesejahteraan rakyat, sosial budaya, dan sebagainya. Diskusi yang berlangsung hampir tiga jam itu sangat menarik.

S̶e̶m̶u̶l̶a̶ ̶y̶a̶n̶g̶ ̶h̶a̶d̶i̶r̶ ̶m̶e̶n̶g̶e̶m̶u̶k̶a̶k̶a̶n̶ ̶p̶e̶n̶d̶a̶p̶a̶t̶n̶y̶a̶ ̶m̶a̶s̶i̶n̶g̶-̶m̶a̶s̶i̶n̶g̶,̶ ̶s̶e̶k̶a̶l̶i̶p̶u̶n̶ ̶k̶a̶d̶a̶n̶g̶-̶k̶a̶d̶a̶n̶g̶ ̶m̶e̶n̶g̶e̶r̶i̶t̶i̶k̶ ̶k̶e̶b̶i̶j̶a̶k̶s̶a̶n̶a̶a̶n̶ ̶s̶u̶l̶t̶a̶n̶.̶ ̶S̶e̶m̶u̶a̶ ̶p̶e̶n̶d̶a̶p̶a̶t̶ ̶d̶i̶t̶e̶r̶i̶m̶a̶ ̶s̶u̶l̶t̶a̶n̶ ̶d̶e̶n̶g̶a̶n̶ ̶s̶e̶n̶y̶u̶m̶ ̶y̶a̶n̶g̶ ̶s̶e̶j̶u̶k̶.̶ Setelah waktu shalat ashar, semua kembali ke ruang masjid dan sama-sama melakukan shalat. Usai shalat ashar, Sultan Malik Azh-Zhahir menghilang ke dalam satu bilik khusus, dan lima belas menit kemudian beliau keluar sudah bukan dengan pakaian putih lagi. Tetapi dengan pakaian kebesaran raja. Dengan menunggang kuda dan diiringi para pengawalnya, sultan pulang ke istana.

D̶i̶ ̶k̶i̶r̶i̶ ̶d̶a̶n̶ ̶k̶a̶n̶a̶n̶ ̶j̶a̶l̶a̶n̶ ̶r̶a̶k̶y̶a̶t̶ ̶b̶e̶r̶j̶e̶j̶e̶r̶ ̶m̶e̶n̶g̶e̶l̶u̶-̶e̶l̶u̶k̶a̶n̶ ̶S̶u̶l̶t̶a̶n̶ ̶y̶a̶n̶g̶ ̶a̶d̶i̶l̶ ̶i̶t̶u̶.̶ ̶A̶k̶u̶ ̶b̶e̶r̶p̶i̶k̶i̶r̶,̶ ̶r̶u̶p̶a̶n̶y̶a̶ ̶w̶a̶k̶t̶u̶ ̶b̶e̶r̶a̶n̶g̶k̶a̶t̶ ̶d̶a̶r̶i̶ ̶i̶s̶t̶a̶n̶a̶ ̶m̶e̶n̶u̶j̶u̶ ̶M̶a̶s̶j̶i̶d̶,̶ ̶s̶u̶l̶t̶a̶n̶ ̶h̶a̶n̶y̶a̶l̶a̶h̶ ̶h̶a̶m̶b̶a̶ ̶A̶l̶l̶a̶h̶ ̶y̶a̶n̶g̶ ̶b̶i̶a̶s̶a̶ ̶s̶e̶p̶e̶r̶t̶i̶ ̶r̶a̶k̶y̶a̶t̶ ̶l̶a̶i̶n̶n̶y̶a̶,̶ ̶t̶e̶t̶a̶p̶i̶ ̶w̶a̶k̶t̶u̶ ̶p̶u̶l̶a̶n̶g̶ ̶k̶e̶ ̶i̶s̶t̶a̶n̶a̶ ̶b̶a̶r̶u̶l̶a̶h̶ ̶b̶e̶l̶i̶a̶u̶ ̶t̶a̶m̶p̶i̶l̶ ̶s̶e̶b̶a̶g̶a̶i̶ ̶S̶u̶l̶t̶a̶n̶ ̶d̶a̶r̶i̶ ̶k̶e̶r̶a̶j̶a̶a̶n̶ ̶S̶a̶m̶u̶d̶e̶r̶a̶ ̶P̶a̶s̶a̶i̶.̶ ̶A̶k̶u̶ ̶m̶e̶n̶d̶a̶p̶a̶t̶i̶ ̶b̶a̶h̶w̶a̶ ̶k̶e̶r̶a̶j̶a̶a̶n̶ ̶S̶a̶m̶u̶d̶e̶r̶a̶ ̶P̶a̶s̶a̶i̶ ̶a̶d̶a̶l̶a̶h̶ ̶k̶e̶r̶a̶j̶a̶a̶n̶ ̶I̶s̶l̶a̶m̶ ̶p̶e̶r̶t̶a̶m̶a̶ ̶y̶a̶n̶g̶ ̶b̶e̶r̶d̶i̶r̶i̶ ̶d̶i̶ ̶t̶a̶n̶a̶h̶ ̶M̶e̶l̶a̶y̶u̶.̶ ̶T̶e̶r̶n̶y̶a̶t̶a̶,̶ ̶k̶e̶r̶a̶j̶a̶a̶n̶ ̶S̶a̶m̶u̶d̶e̶r̶a̶ ̶P̶a̶s̶a̶i̶ ̶t̶e̶l̶a̶h̶ ̶m̶e̶m̶p̶u̶n̶y̶a̶i̶ ̶t̶a̶m̶a̶d̶d̶u̶n̶ ̶(̶p̶e̶r̶a̶d̶a̶b̶a̶n̶)̶ ̶d̶a̶n̶ ̶h̶u̶b̶u̶n̶g̶a̶n̶ ̶l̶u̶a̶r̶ ̶n̶e̶g̶e̶r̶i̶ ̶y̶a̶n̶g̶ ̶b̶a̶i̶k̶.̶Di sini aku tinggal selama 15 hari, kemudian melanjutkan perjalanan ke Cina.”

Pandangan saya, inilah keterangan paling jelas tentang awal Islam di nusantara. Karena dikatakan Sultan bahwa tidak ada negeri dibelakang Samudra Pasai yang memeluk agama Islam. Maka segala klaim2 yg bilang Islam masuk Indonesia sejak zaman sahabat nabi SAW atau zaman khalifah Umar bin Abdul Aziz, jelas keliru.

!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
NB: Saya terpaksa mengedit tulisan ini dan menggaris-garis sejumlah kalimat sebagaimana diatas. Sebagian besarnya tulisan diatas yang bagian kutipan Ibnu Battutah, saya salin dari terjemah yang ada di internet (ini kesalahan saya). Saya salin buta karena bagian-bagian tersebut tidak ketemu di kitab aslinya, dan bagian tersebut terasa bagus dibenak saya. Setelah saya cross check betul-betul di dua versi kitab aslinya, ternyata bagian tersebut sebetulnya tidak ada, alias ini buatan penerjemah Indonesia AKA al kautsar yang tidak amanah dalam menerjemahkan buku ini. Penerjemah melakukan terjemah dengan merubah2 isi, menghilangkan sebagian kalimat, paragraf, bahkan lompat satu sampai dua halaman. Menakjubkan!
!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!