Penimbunan barang terhadap barang yang langka ditinjau dari perspektif Islam.
Hari ini para kaum ibu-ibu merasakan keresahan mengenai bahan penunjang dalam menggunakan bahan pokok yakninya minyak goreng, yang mana merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam mengelola makanan di rumah tangga. Padahal bulan sebelumnya pemerintah menetapkan melalui Kementerian Perdagangan menentukan harga ecer tertinggi (HET) minyak goreng ditetapkan dalam tiga kategori, yaitu: Rp11.500/liter untuk minyak goreng curah, kemasan sederhana Rp13.500/liter, dan kemasan premium Rp14.000/liter. Kebijakan ini berlaku mulai 1 Februari 2022 di ritel modern dan pasar tradisional
Indonesia merupakan negeri yang kaya, salah satunya adalah hasil perkebunan kelapa sawit. Sangat disayangkan jika hal tersebut terjadi di negeri sendiri dan pelaku spekulan dalam perkara tersebut adalah masyarakatnya sendiri. Masyarakat berbondong-bondong rela mengantri dan saling rebutan demi sebuah minyak goreng yang akan dibeli di ritel-ritel belanja maupun di pasar tradisional. Bukan hanya langka saja ternyata moment hal seperti ini menjadi lahan kesempatan bagi para spekulan dengan menaikkan harga barang tersebut, sehingga mendapatkan keuntungan yang begitu fantastis. Dalam beberapa pekan terakhir berdasarkan penelusuran secara langsung ke masyarakat, minyak goreng tersebut harganya mencapai Rp.20.000/Liter, dan kemasan 2 liter seharga Rp. 50.000 hingga Rp.55.000 per kemasan. Dengan adanya kenaikan harga tersebut banyak yang mengira bahwa minyak goreng susah didapatkan serta adanya penimbunan secara sengaja.
Dalam Islam, sebagai makhluk sosial, manusia sangat tergantung kepada ekonomi dalam menjalankan kehidupannya. Permasalahan seperti ini suatu keharusan di dalam proses ekonomi apabila para pelakunya menginginkan keuntungan. Hanya saja keuntungan yang akan didapatkan hendaknya tidak bertendensikan eksploitasi dan ke-tidakwajaran. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 275 yang berbunyi :
اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ فَمَنْ جَاۤءَهٗ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهٖ فَانْتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَۗ وَاَمْرُهٗٓ اِلَى اللّٰهِ ۗ وَمَنْ عَادَ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ
Artinya : “Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barangsiapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barangsiapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”
Ayat diatas menjelaskan bahwasannya praktek mencari keuntungan dalam jual beli melalui jalan yang riba itu haram hukumnya. Islam tidak memberikan jalan dalam mencari keuntungan memakai sistem kapitalis, yakni menghalalkan segala cara dalam memperoleh keuntungan secara besar-besaran termasuk didalamnya bentuk perdagangan maupun dalam hal penimbunan barang. Oleh sebab itu, pelaku ekonomi hanya diizinkan untuk mengambil keuntungan yang sewajarnya saja, tidak terlalu tinggi untuk mengingat berakibat kepada masyarakat yang kesusahan dan juga tidak terlalu rendah dalam berakibat kebangkrutan bagi sipelaku ekonomi.
Sebuah kisah dari Umar bin Khattab yakni :
“Diriwayatkan bahwa Umar Ibn Khattab ra. keluar dengan para sahabatnya, maka (tiba-tiba) ia melihat tumpukan bahan makanan di pintu Mekkah. (Melihat itu) ia berkata “makanan apa ini?” Mereka menjawab “makanan ini dijual kepada kami. Umar berkata, “Allah Swt memberkati makanan itu
dan orang yang menjualnya. Dikatakan kepadanya, sesungguhnya makan itu sebelumnya ditimbun. Ia berkata “Siapa yang menimbunnya?” mereka menjawab budak Usman dan budakmu. Kemudian ia mengutus seseorang untuk menanyakan hal itu kepada mereka berdua. (Setibanya utusan itu
bertanya) “apa yang menyebabkan kamu menumpuk makanan orang Islam? Mereka menjawab “tidak, kami membeli dengan uang kami untuk kemudian menjualnya? Lantas utusan Umar tadi membacakan hadits Nabi yang artinya, “Siapa saja yang menimbun makanan orang Islam, ia tidak akan meninggal
sebelum terkena penyakit kusta atau bangkrut. Tidak lama kemudian budak Usman menjualnya kecuali budak Umar. Menurut riwayat budak Umar tadi kena penyakit kusta.”
Cerita diatas dapat disimpulkan bahwasannya apabila motivasi penimbunan itu hanya untuk menunggu harga tinggi untuk memperoleh keuntungan yang sangat besar, sudah pasti hal ini diharamkan karena tindakan tersebut termasuk dengan maslahat ammah yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum itu tidak berarti untuk kepentingan semua orang tapi bisa saja untuk kepentingan mayoritas umat.
Dapat kita pahami bersama, untuk menghindari praktik ekonomi yang tidak wajar tersebut maka diperlukan partisipasi semua pihak dalam urusan ekonomi terutama pemerintah dalam mengambil sebuah kebijakan yang tepat bagi rakyatnya sangatlah diperlukan agar kemaslahatan umum dapat dilindungi.