Saat mengunjungi Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata Jakarta dan ziarah ke makam Haji Agus Salim (1884 – 1954), saya merenung betapa sebagai anak bangsa kita patut bangga dan bersyukur negeri ini pernah melahirkan seorang tokoh pergerakan, pemimpin, negarawan, ulama, intelektual, diplomat dan sastrawan yang dikaruniai kecerdasan di atas rata-rata orang Indonesia. Haji Agus Salim seorang tokoh nasional yang disegani dunia, nama besarnya tersimpan di hati sanubari rakyat Indonesia, yang menurut Prof. Dr. Hamka hanya sekali dalam 100 tahun dimunculkan Tuhan ke dunia ini.
Perjalanan hidup Haji Agus Salim sejak muda tidak terpisah dari denyut nadi perjuangan bangsa. Sepanjang hayatnya, ia mencurahkan pemikiran dan berjuang untuk kemajuan umat Islam dan kemuliaan martabat bangsa Indonesia agar sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Presiden RI Pertama Soekarno menyebut Haji Agus Salim, “The Grand Old Man” dan “Ulama Intelek”.
Putra Koto Gadang
Haji Agus Salim dilahirkan di Koto Gadang pada 8 Oktober 1884. Ayahnya Sutan Muhammad Salim seorang Jaksa Pengadilan Negeri. Koto Gadang sebuah nagari (desa) di Kabupaten Agam, dekat Ngarai Sianok, Bukittinggi Sumatera Barat. Di zaman penjajahan, orang Koto Gadang sudah lebih maju daripada penduduk nagari-nagari (desa) lain di Minangkabau. Masyarakat Koto Gadang dikenal sebagai masyarakat terpelajar. Semenjak awal kemerdekaan banyak orang Koto Gadang menjadi dokter, pegawai negeri (ambtenaar), pemimpin masyarakat, pejabat pemerintah, tokoh politik, diplomat dan tentara.
Setamat dari ELS (Europese Lagere School) di Koto Gadang, Agus Salim melanjutkan ke HBS (Hogere Burger School) di Jakarta dan lulus dengan predikat terbaik. Ia bercita-cita menjadi dokter, namun keuangan orangtuanya tidak memungkinkan untuk melanjutkan sekolah kedokteran.
Dalam kurun waktu 1906 sampai 1911 Haji Agus Salim bekerja sebagai penterjemah pada Konsulat di Jeddah. Selama tinggal di Arab Saudi ia memanfaatkan kesempatan untuk belajar bahasa Arab dan mendalami agama Islam kepada pamannya Syeikh Ahmad Khatib, ulama besar Minangkabau yang mengajar di Arab Saudi dan menjadi Imam Masjidil Haram. Sepulang dari Arab Saudi, sebelum memasuki gelanggang perjuangan lebih luas, ia mendirikan sekolah HIS (Hollandsch-Inlandsche School) swasta di Koto Gadang.
Tokoh Pergerakan Islam
Haji Agus Salim merupakan genre awal dalam hirarki pucuk kepemimpinan umat Islam Indonesia dan tokoh senior di lingkaran pergerakan Islam masa pra-kemerdekaan. Di era Kebangkitan Nasional, Haji Agus Salim merupakan tokoh terkemuka Sarekat Islam (SI) di samping H.O.S. Tjokroaminoto dan Abdul Muis.
Sejak 1915 Haji Agus Salim menjadi Pengurus Besar Centraal Sarekat Islam.Sekitar tahun 1927 ia menghadiri Muktamar Alam Islami di Mekkah. Setelah acara muktamar selesai, Raja Abdul Aziz Bin Saud secara khusus mengundang Haji Agus Salim untuk bersilaturahim di istana raja.
Tahun 1921 sampai 1924 Haji Agus Salim menjadi Anggota Volksraad, Dewan Rakyat di zaman kolonial, sebagai wakil Sarekat Islam. Jauh sebelum Sumpah Pemuda, bahasa Melayu/Indonesia telah digunakan dalam sidang Volksraadoleh Haji Agus Salim, meski ditegur oleh Ketua Volksraad yang memintanya berpidato dalam bahasa Belanda. Ia mengundurkan diri karena keberadaan sebagai anggota Volksraad tidak membawa manfaat yang diharapkan bagi kepentingan rakyat Indonesia.
Pada 1921 berlangsung Kongres Al-Islam di Cirebon. Kongres dipimpin oleh Haji Agus Salim dan H.O.S. Tjokroaminoto. Dalam kongres itu dibahas upaya mengurangi perselisihan tentang soal-soal furu’ dan khilafiyah serta mencari jalan bagaimana mewujudkan persatuan aliran dan kerjasama di antara kaum muslim di tanah air. Dalam Kongres Al-Islam II di Garut, Haji Agus Salim menguraikan fungsi agama dan ilmu pengetahuan, hubungan Islam dengan sosialisme dan kecaman terhadap kapitalisme.
Pada kesempatan lain Haji Agus Salim menegaskan pentingnya persatuan Islam dan menyerukan pentingnya fungsi Majelis Ulama. Kepentingan mendirikan Majelis Ulama terus dikemukakannya dalam Kongres Sarekat Islam di Pekalongan tahun 1927. Pembentukan Majelis Ulama akhirnya terwujud dalam Kongres Sarekat Islam di Yogyakarta, Januari 1928.
Dalam Kongres Al-Islam Luar Biasa di Surabaya tahun 1924 yang dihadiri lebih kurang 1.000 orang dari kalangan Sarekat Islam, Muhammadiyah dan kumpulan organisasi lainnya membicarakan apakah umat Islam Indonesia akan menyertai gerakan khilafat, Haji Agus Salim mengemukakan, “Nasionalisme berdasar Islam ialah memajukan negeri dan bangsa berdasarkan cita-cita Islam.” Dalam kegiatan politik pasca kemerdekaan Haji Agus Salim ikut mereorganisasi Masyumi, namun tidak sempat melihat Masyumi mengikuti Pemilihan Umum Pertama tahun 1955. Sejarah mencatat Haji Agus Salim kemudian mengambil posisi sebagai orang non-partai.
Ia seorang ulama intelek yang berpikir progresif dalam kerangka menangkap esensi ajaran Islam yang membawa spirit kemajuan. Di depan Kongres Jong Islamieten Bond (JIB) tahun 1927 Haji Agus Salim mengkritisi pemisahan laki-laki dan perempuan di dalam rapat umum. Kebiasaan demikian menurutnya adalah kebiasaan bangsa Arab, bukan berasal dari perintah Islam. Bahkan mungkin juga berasal dari kepercayaan agama lain yang memandang posisi wanita lebih rendah daripada laki-laki. Islam sebaliknya memelopori emansipasi wanita. Sesuai surat An-Nur ayat 30 tidak ada keharusan orang perempuan dipisahkan, apalagi menutup muka.
Dalam artikel khutbah jumat berjudul Persatuan Islam di surat kabar Dunia Islam tanggal 23 Maret 1923 Haji Agus Salim menandaskan, “Kehidupan di dunia itu ialah kehidupan pergaulan. Dan pergaulan itu berdiri atas hak-hak dan kewajiban-kewajiban beberapa pihak, yang satu kepada yang lain, dan berhubungan pula antara yang satu dengan yang lain. Oleh sebab itu agama Islam tidak boleh menjadi pakaian atau urusan orang masing-masing sendiri atau atas dirinya sendiri. Perintah-perintah Islam untuk keperluan kesentosaan hidup segala manusia dan untuk menyelamatkan perjalanan orang Islam dari dunia ke akhiratnya, wajiblah umat Islam menjadi satu persaudaraan yang rapat. Yang sama menjunjung perintah Islam. Yang sama mengusahakan dan melakukan suruhan-suruhan Islam. Firman Allah memerintahkan umat Islam sekaliannya berpegang pada tali Allah bersama-sama. Dan melarang umat Islam bercerai-berai.”
Persaudaraan yang teguh dan kuat – menurut Haji Agus Salim – bukan teguh dan kuat namanya saja, atau teguh dan kuat rohaninya saja, melainkan teguh dan kuat badannya dan tenaganya, kekuasaannya, dan pengaruhnya dalam pergaulan manusia segala bangsa di alam dunia ini pun juga. Teguh dan kuat sebagaimana telah disaksikan dunia dalam masa hidupnya Nabi kita, Muhammad Saw.
Haji Agus Salim kerap mengisi siaran radio, berkhutbah, serta memberi ceramah ilmiah tentang Islam, filsafat dan ilmu pengetahuan secara menakjubkan yang menggambarkan lautan ilmunya yang luas. Pada 30 November 1952 ia menyampaikan uraian hikmah Maulid Nabi Muhammad SAW dalam Peringatan Maulid Nabi di Istana Negara Jakarta, dihadiri para pejabat negara dan korps diplomatik dari negara-negara sahabat. “Kembalilah mempelajari dan mengamalkan isi Al-Quran!” pesan Haji Agus Salim.
Dalam kesempatan lain ia menyatakan, “Di mana letaknya kehebatan Islam?” Pertanyaan yang dijawab sendiri oleh beliau, “Islam tidak terletak pada isi yang terkandung di dalam kitab Al-Quran, akan tetapi dalam pelaksanaannya.”
Pejuang dan negarawan seperti Mohammad Natsir, Mohamad Roem, Kasman Singodimedjo, Prawoto Mangkusasmito, Jusuf Wibisono dan lain-lain adalah murid intelektual dan kader-kader yang dibimbing Haji Agus Salim, terutama melalui organisasi Jong Islamieten Bond (JIB). Haji Agus Salim adalah penasihat JIB.
Prof. Dr. Hamka mengakui banyak mendapat bimbingan dan berhutang budi kepada Haji Agus Salim. Sekitar tahun 1927 Hamka berjumpa Haji Agus Salim di Mekkah. Beliau memberi pandangan kepada Hamka yang ketika itu ingin bermukim di Mekkah. Haji Agus Salim berkata, “Apa guna engkau mukim di Mekkah ini, padahal engkau masih muda. Kita datang kemari hanya untuk beribadat, bukan untuk menuntut ilmu. Masanya telah lepas bagi orang Indonesia yang hendak belajar Islam akan bermukim di Mekkah. Bertambah lama engkau mukim di Mekkah ini nanti bertambah payah engkau menyesuaikan dirimu jika engkau pulang kelak ke tanah air! Di tanah air kitalah engkau coba mencari ilmu dan membina dirimu, sehingga menjadi ‘orang’, tidak hanya menjadi seorang ‘lebay’.”
Menarik disimak penuturan Mohammad Natsir dalam Pesan Perjuangan Seorang Bapak. Suatu kali bersama Prawoto Mangkusasmito, mereka membawa suatu persoalan kepada Haji Agus Salim. Setelah mengemukakan pendapatnya panjang lebar, tapi tidak menjawab pertanyaan Natsir. Akhirnya ditanyakan bagaimana pemecahan persoalan itu. Justru pertanyaan yang akhir tak dijawab. “Rupanya kami disuruh berfikir sendiri, beliau memberi tahu cara analisisnya, tapi kami sendiri yang harus mengambil keputusan. Cara inilah yang mendorong kami untuk maju. Dengan cara itu tumbuh keberanian dan kedewasaan yang pada akhirnya lahir corak kepemimpinan baru.” kenang Pak Natsir.
Sebagai ulama yang melampaui zamannya, Haji Agus Salim produktif menulis. Ia mengisi kolom Mimbar Jum’at berisi artikel khutbah jumat dalam bahasa Indonesia, meski hal itu masih di luar kelaziman. Di zaman itu sebagian kalangan muslim di Nusantara menganggap khutbah jumat harus seluruhnya menggunakan bahasa Arab.
Haji Agus Salim banyak menghasilkan karya tulis dalam bahasa Melayu/Indonesia dan bahasa asing, antara lain: Tasauf Dalam Agama Islam(1916), Persatuan Islam (1923), Wajib Bergerak (1923), De Behoefte aan Godsdienst (1925), Perempuan Dalam Islam (1925), De Sluiering en Afzondering der Vrouw (1926), Islam dan Bahagia Tidak Terpisah (1928), Hukum Yang Lima(1928), Adat Kontra Islam (1934), Hari Raya Idul Fitri (1934), Cerita Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Saw (1935), Godsdienst (1935), Rahasia Puasa Menurut Imam Al-Ghazali (1936), Gods Laatste Boodschap de Universele Godsdients (1937), Riwayat Kedatangan Islam Di Indonesia (1941), Keterangan Filsafat Tentang Tauhid, Takdir dan Tawakal (1953), Ketuhanan Yang Maha Esa (1953), Muhammad Sebelum dan Sesudah Hijrah (1958) dan lain-lain.
Pengetahuannya tidak hanya mendalamn di bidang agama dan politik, melainkan juga sastra dan filsafat. Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif menjulukinya Bapak Kaum Intelektual Muslim Indonesia. “Salim boleh dikatakan telah mewariskan segala-galanya yaitu berupa kejujuran, intelektualisme Islam, percaya kepada diri sendiri, kecakapan mengurus negara, kesetiaan kepada prinsip perjuangan, kesederhanaan dan rasa tanggung jawab yang cukup tinggi terhadap nasib bangsa dan negara.” tulis Ahmad Syafii Maarif dalam Seratus Tahun Haji Agus Salim.
Beberapa Anekdote Haji Agus Salim
Haji Agus Salim memiliki kecerdasan komunikasi dan kecakapan “bersilat lidah” (berdiplomasi) yang mengagumkan. Dalam satu perdebatan dengan seorang Belanda, ia ditantang, “Salim, apakah engkau kira bahwa engkau ini seorang yang paling pintar di dunia ini? Haji Agus Salim menjawab, “Itu sama sekali tidak. Banyak orang yang lebih pintar dari saya, cuma belum lagi bertemu dengan seorang di antara mereka.” Karena menguasai banyak bahasa asing, ia mahir berpidato menggunakan beberapa bahasa sekaligus jika audiens-nya dari berbagai bangsa. Haji Agus Salim menguasai bahasa Arab, Belanda, Inggris, Perancis, Jerman, Turki, dan beberapa bahasa yang lain.
Suatu hari Haji Agus Salim menemui temannya di kantor pemerintah Hindia Belanda. Temannya menyesalkan, coba kalau kau bekerja menjadi pegawai Belanda, nasibmu takkan seperti ini. Tak berapa lama, datang tuan Cobee, adviseur Belanda. Begitu dilihatnya ada tamu yakni Haji Agus Salim, orang Belanda itu mengulurkan tangan untuk bersalaman. Sesudah itu dia pun pergi. Teman yang bekerja di kantor Belanda itu malah tidak disalami. Kata Haji Agus Salim kepada temannya itu, “Coba kalau saya bekerja dengan Belanda, tentu seperti kau. Meski saya tidak bekerja dengan si Belanda itu, mereka hormat kepada saya.”
Dalam sebuah rapat umum di zaman kolonial, waktu Haji Agus Salim naik podium, tiba-tiba terdengar suara dari belakang, “mbek… mbek….” menyindir Haji Agus Salim yang berjenggot. Ia tidak kehilangan akal dan spontan berucap, “Saya tidak mengira, disini banyak juga kambing-kambing yang hadir.” Orang yang mengembek dengan maksud mengolok-olok Haji Agus Salim malu sendiri dan disuruh keluar.
Haji Agus Salim memiliki rasa humor tinggi, tapi humor yang bermutu. Dalam jamuan makan di luar negeri bersama orang-orang Barat, hanya Haji Agus Salim yang makan pakai tangan. Seorang bule berkata, “Tidakkah Tuan jijik makan pakai tangan?” Haji Agus Salim menjawab enteng, “Saya tahu tangan saya ini lebih bersih daripada sendok dan garpu yang Tuan pakai. Tangan saya tidak pernah dipakai orang lain.”
Suatu kali Haji Agus Salim minta dibuatkan peci yang dirajut oleh istrinya. Peci itu ditunggu sampai jadi hingga menunda keberangkatan untuk suatu keperluan karena ingin memakai peci rajutan itu. Waktu pulang sore harinya peci itu tidak kelihatan lagi di kepalanya. Ternyata telah dihadiahkannya kepada seorang kawan yang sangat mengagumi peci itu. Peci baru siap yang amat disukainya hingga mau menunggu sampai selesai membikinnya. Kata Haji Agus Salim, memberi sesuatu barang yang amat kita sayangi kepada orang lain, itu baru namanya pemberian.
Dalam kisah hidup keluarga Haji Agus Salim, meski hidup sederhana dan tempat tinggal berpindah-pindah karena mengontrak, namun selalu diliputi kegembiraan, rasa syukur dan qanaah (merasa cukup dengan nikmat yang ada). Perabot rumah Haji Agus Salim selalu diubah-ubah letaknya untuk penyegaran suasana supaya tidak membosankan. Keluarga Haji Agus Salim melahirkan anak-anak yang sehat jasmani dan mental-ruhani. Anak-anak memanggil ayahnya “Paatje” dan ibunya “Maatje”. Dalam Keterangan Filsafat Tentang Tauhid, Takdir dan Tawakal, ia mengatakan, “Jika maksud tercapai, Allah yang punya karunia. Jika tidak tercapai, Allah yang punya kuasa. Ia yang Rahman dan Rahim.”
Sebagaimana diungkapkan dalam kenangan anak-anaknya ketika tidak punya lauk-pauk untuk dimasak karena uang belanja sedang menipis, Haji Agus Salim ikut memasak nasi goreng untuk dinikmati seisi rumah dengan penuh keceriaan. Ketika hujan lebat atap rumah bocor, ember-ember ditaruh di tempat yang kebocoran, anak-anak diajak membuat perahu kertas lalu mereka asyik bermain perahu. Mereka tak perlu tahu orangtuanya sedang tak punya uang buat memperkaiki atap rumah. Kebahagiaan dan keceriaan terukir dalam jiwa anak-anak Haji Agus Salim seumur hidup mereka.
Dengan pandangan hidup yang terbentuk dengan landasan tauhid dan tawakal, Haji Agus Salim selalu yakin pada takdir bahwa di saat bagaimana pun sulitnya, pertolongan Allah pasti datang. Salah satu sifat mengagumkan dari Haji Agus Salim seperti dikenang murid-muridnya adalah tidak tampak kesuraman di saat miskin dan tidak kelihatan kesombongan dan lupa daratan setelah hidup mapan di hari tuanya.
Di zaman kolonial, orang yang tidak pandai berbahasa Belanda diangap rendah dan merasa rendah diri. Haji Agus Salim berbicara dalam bahasa Belanda dengan anak-anaknya semenjak kecil.
Haji Agus Salim dibantu istrinya mendidik sendiri anak-anaknya di rumah (homeschooling) tanpa sekolah formal, kecuali anak yang bungsu masuk sekolah setelah Indonesia merdeka. Ketika baru menikah, Haji Agus Salim berpesan kepada istrinya Zainatun Nahar binti Almatsier yang sama berasal dari Koto Gadang agar banyak membaca, sebab setelah mempunyai anak kemungkinan tidak akan disekolahkan, tapi kelak akan dididik sendiri.
Di mata Haji Agus Salim, sistem pendidikan kolonial memberi pengaruh kurang baik terhadap Bumiputera, apalagi di tengah upaya menjadi bangsa yang ingin menjadi tuan di negeri sendiri. Haji Agus Salim dan istrinya menanamkan kepada anak-anaknya kemauan untuk mencari sendiri pengetahuan lebih lanjut melalui membaca buku dan bergaul dengan orang-orang pandai.
Suatu ketika ada orang bertanya kepada Haji Agus Salim, “Bagaimanakah mungkin anak-anak Tuan bisa demikian lancarnya berbahasa Inggris kalau dia tak pernah bersekolah? Haji Agus Salim menanggapi, “Pernahkah Tuan mendengar dimanakah kuda belajar meringkik? Kuda yang tua meringkik dan anak-anaknya meringkik pula. Demikian pula saya meringkik dalam bahasa Inggris, maka anak-anak saya meringkik pula dalam bahasa Inggris.”
Pahlawan Kemerdekaan Nasional
“Kita sebagai bangsa merasa berbahagia mempunyai orang seperti Haji Agus Salim. Karena tidak banyak orang seperti beliau. Tipe manusia yang geniaal.Beliau tidak hanya sebagai perintis, akan tetapi juga sebagai pelaksana dari kemerdekaan kita. Kalau kita gambarkan almarhum mempunyai tiga sifat yang istimewa, yaitu tajam, tangkas dan cerdas.” Demikian Wakil Presiden RI Pertama Mohammad Hatta dalam mengenang setahun wafatnya Haji Agus Salim di Masjid Agung Al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta tahun 1955.
Menurut Bung Hatta, sebagaimana dikutip Solichin Salam dalam Seratus Tahun Haji Agus Salim, patut dikenang rasa setia kawan yang besar pada diri Haji Agus Salim. “Kalau dapat ia ingin menolong semua orang yang melarat hidupnya. Perasaan itulah barangkali yang menimbulkan paham sosialisme dalam dadanya, yang diperkuat pula oleh ajaran Islam.” kata Bung Hatta.
Haji Agus Salim rela hidup sangat sederhana senasib dengan rakyat Indonesia yang diperjuangkannya. Seandainya ia mau menjadi pegawai pemerintah kolonial Hindia Belanda pasti dapat menikmati hidup berkecukupan secara materi dan status sosial. Para pemimpin yang idealis pada umumnya rela menempuh jalan hidup menderita demi menjaga kemurnian cita-cita dan kesetiaan dengan prinsip-prinsip perjuangan. Sebuah kata mutiara yang menggambarkan keadaan di masa itu dalam bahasa Belanda yaitu, “leiden is lijden”, memimpin adalah menderita.
Kata-kata hikmah Haji Agus Salim “Hinakan harta jangan hinakan diri.” dan “Jangan dipuji suatu hari sebelum datang magribnya.” memiliki makna yang mendalam jika direnungkan. Dalam sebuah tulisannya di surat kabar Haji Agus Salim menegaskan, “Dalam negeri kita janganlah kita yang menumpang”. Kalimat ini, menurut Buya Hamka, adalah bekal yang menjadi pegangan seluruh insan Indonesia yang mesti tahu ke mana arah mereka akan bergerak.
Dalam artikel surat kabar Neratja, 25 September 1917, berjudul Kemajuan Diperoleh Dengan Usaha”, Haji Agus Salim membangkitkan semangat bangsa Indonesia agar percaya pada kekuatan diri sendiri, jangan terlalu mengharapkan belas kasihan bangsa penjajah, karena bangsa yang menjajah itu tidaklah akan sudi mengajar dan mendidik kita dengan sesungguhnya, karena mereka takut akan dilawan dengan kepandaian yang kita dapat dari mereka.
Haji Agus Salim salah satu pelopor pers nasional antara lain sebagai pemimpin surat kabar Hindia Baru dan Neratja. Dalam artikel-artikelnya ia melancarkan kritik tajam atau sindiran halus terhadap pemerintah kolonial. Di Harian Fadjar Asia, 29 November 1927, ia menyindir sikap pemerintah kolonial, “Kekuasaan polisi mesti terang-terang batasnya dan polisi tukang tangkap janganlah merangkap pula jabatan tukang mencari keterangan.”
Sebagai pejuang kemerdekaan Haji Agus Salim memiliki andil besar dalam perjuangan menuju Indonesia merdeka. Ia menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Haji Agus Salim salah satu founding fathers negara dan ikut mensahkan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang merupakan konsensus tentang dasar negara Republik Indonesia.
Pada awal kemerdekaan Haji Agus Salim menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (1945 – 1946). Beberapa kali duduk dalam kabinet sebagai Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II (1946) dan Kabinet Sjahrir III (1947), Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin (1947), dan Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta (1948 – 1949).
Setelah tahun 1949 sampai wafat Haji Agus Salim menjadi Penasihat Utama pada Kementerian Luar Negeri RI.
Haji Agus Salim mengetuai misi diplomatik RI dalam mengupayakan dukungan negara-negara Arab terhadap kemerdekaan Indonesia. Ia pantas dikenang sebagai “diplomat pertama Indonesia” seperti ditulis Solichin Salam dalam buku Hadji Agus Salim Pahlawan Nasional. Haji Agus Salim merupakan perintis hubungan diplomatik Indonesia dengan beberapa negara Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Mesir, Siria, dan Libanon. Mesir negara pertama yang mengakui de jure kemerdekaan Indonesia. Peran lainnya, menjadi anggota delegasi Indonesia ke Inter Asian Relations Conference di New Delhi, India. Pada 3 Juni 1953 mewakili Pemerintah RI bersama Sri Paku Alam menghadiri Penobatan Ratu Elizabenth II di London. Haji Agus Salim merupakan salah satu anggota delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag yang menghasilkan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia pada 30 Desember 1949.
Dalam pengantar buku Hadji Agus Salim Pahlawan Nasional karya Solichin Salam, Mohammad Hatta mengisahkan bagaimana tanggapan Haji Agus Salim atas kemarahan pihak Belanda sehubungan pengakuan negara-negara Arab atas kemerdekaan RI. Berikut pernyataan Haji Agus Salim, “Kalau Tuan-tuan menganggap usaha kami mendapatkan pengakuan de jure negara-negara Arab atas Republik Indonesia bertentangan dengan Perjanjian Linggarjati, apakah aksi militer yang Tuan lancarkan terhadap kami sesuai dengan Perjanjian Linggarjati? Pengakuan de jure kami peroleh akibat daripada aksi militer Tuan. Kalau Tuan-tuan melancarkan sekali lagi aksi militer terhadap kami, kami akan mencapai pengakuan de jure dari seluruh dunia.”
Haji Agus Salim, Sutan Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya dengan gigih memperjuangkan Republik Indonesia di sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam masa perang kemerdekaan dan agresi militer Belanda, Haji Agus Salim diasingkan oleh Pemerintah Belanda ke Brastagi, Sumatera Utara, dan selanjutnya dipindahkan ke Prapat. Haji Agus Salim dan Bung Karno dipindahkan ke Pulau Bangka dikumpulkan dengan Bung Hatta dan kawan-kawan.
Mengenai cinta tanah air, Haji Agus Salim sebagai seorang pemimpin tampa pamrih, sebagaimana diutarakan keponakannya Prof. Dr. Emil Salim dalam buku Seratus Tahun Haji Agus Salim, bertolak dari niat “lillahi ta’aala”. Cinta bangsa dan tanah air berkembang karena “lillahi ta’aala”. Karena Allah inilah yang menjadi niat utama. Pemantapan niat dalam hati sanubari pejuang dirasa perlu karena perjuangan kemerdekaan tidaklah mudah dan banyak godaan yang menyesatkan mereka yang berjuang. Lagi pula, menurut Haji Agus Salim, tidak ada keuntungan duniawi yang bisa diraih dalam perjuangan kemerdekaan. Dengan kata lain, cinta tanah air tidak hanya terbatas pada usaha membebaskan tanah air dari belenggu penjajah, tidak lagi terbatas pada kecintaan yang dikobarkan oleh nyiur hijau melambai atau kilauan emas dan padi menguning, tetapi beliau menarik ke tingkat lebih tinggi. Kita mencintai tanah air karena ini adalah anugerah Allah. Dalam rangka beribadah kepada-Nya, demikian kata Haji Agus Salim.
Menjelang Tutup Usia
Sebagai intelektual kelas dunia sekitar awal 1953 Haji Agus Salim diundang sebagai guru besar tamu pada semester musim semi untuk memberikan kuliah tentang agama Islam di Cornell University di Ithaca Amerika Serikat. Di samping itu ia diminta memberi ceramah tentang Pergerakan dan Cita-Cita Islam Indonesia di Princeton University Amerika Serikat. Rekaman kuliah Haji Agus Salim di Cornell University diterjemahkan oleh J. Taufik Salim, putra kedua Haji Agus Salim dan diterbitkan menjadi buku Pesan-Pesan Islam dalam edisi bahasa Indonesia.
George McT Kahin menyebut Kuliah Islam Haji Agus Salim di Amerika Serikat tahun 1953 banyak menimbulkan minat di kalangan kaum mahasiswa. Karena sebelumnya belum pernah ada guru besar muslim yang memimpin program dimaksud di kampus terkemuka di negara Barat.
Pada tahun 1952 Haji Agus Salim dan Ibu Zainatun Nahar memperingati ulang tahun perkawinan ke-40. Menurut beliau, perkawinan berbahagia 40 tahun bukanlah atas teori beliau, melainkan dengan izin dan keridhaan Allah. Kalau Tuhan menghendaki bisa saja kami bercerai berpisah dalam waktu yang kami sendiri tidak merencanakannya terlebih dahulu. Maka Tuhanlah yang memelihara perkawinan kami ini, sampai berlangsung 40 tahun, dan tetap dengan kepercayaan kepada Allah juga kami akan teruskan perkawinan ini. Haji Agus Salim memasang pada dinding rumahnya kaligrafi ayat Al-Quran surat Al-Kahfi ayat 29 yang terjemahannya “Alangkah baiknya jika engkau masuk ke dalam surgamu engkau katakan Masya Allah, tidak ada kekuatan kecuali pada Allah.” Menurut beliau, surga dimaksud dalam ayat itu ialah rumah tangga yang berbahagia.
Panitia Peringatan Hadji A. Salim Genap Berusia 70 Tahun tanggal 8 Oktober 1954, dari kawan-kawan, pencinta, pengikut dan murid-muridnya memprakarsai penerbitan khusus sebagai penghormatan dan penghargaan yaitu buku Djedjak Langkah Hadji A. Salim: Pilihan Karangan, Utjapan dan Pendapat Beliau Dari Dulu Sampai Sekarang.
Haji Agus Salim diminta oleh pimpinan PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) Yogyakarta (kini UIN Sunan Kalijaga) untuk memberi kuliah tentang dakwah Islam. Ia menyambut baik undangan mengajar sebagai guru besar di PTAIN dan kemudian mengajukan permohonan berhenti sebagai Penasihat Utama Kementerian Luar Negeri agar bisa lebih fokus mengajar. Akan tetapi Menteri Luar Negeri Prof. Mr. Soenarjo tidak mengizinkan Haji Agus Salim berhenti dari jabatan Penasihat Kementerian Luar Negeri, meski beliau akan bertugas mengajar di PTAIN Yogyakarta. Di saat usianya menjelang 70 tahun dan sekembali dari memberi kuliah di Amerika Serikat, Haji Agus Salim bermaksud menulis semua pemikiran yang pernah disampaikannya dalam sebuah buku dan menyelesaikan karangan mengenai Tafsir Al-Qur’an. Rupanya Allah berkehendak lain sebelum rencana tersebut terwujud.
Haji Agus Salim berpulang ke rahmatullah tanggal 4 November 1954 setelah beberapa hari dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Jenazahnya dimakamkan dengan upacara kenegaraan esok harinya di Taman Makam Pahlawan Kalibata, diantar oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta dan disaksikan oleh puluhan ribu rakyat. Haji Agus Salim tutup usia satu bulan setelah memperingati ulang tahun ke-70. Ia merupakan “orang pertama” yang dimakamkan di TMP Kalibata.
Negara memberikan penghargaan atas jasa-jasa Haji Agus Salim sebagai pemimpin bangsa yang besar peranannya dalam perjuangan merebut, menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Presiden Soekarno pada 27 Desember 1961 menganugerahkan gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional kepada almarhum Haji Agus Salim. Selain itu pemerintah meresmikan nama Jalan H. Agus Salim di daerah Menteng – Jakarta Pusat, tepatnya di jalan rumah tempat tinggal Haji Agus Salim, yang sebelumnya bernama Jalan Gereja Theresia.
Presiden Soeharto pada 12 Agustus 1992 memberikan penghargaan tertinggi Tanda Kehormatan Bintang Republik Indonesia Utama kepada almarhum Haji Agus Salim sebagai tokoh perancang Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Setengah abad dari usia Haji Agus Salim yang 70 tahun dihabiskan dalam tugas dan bakti bagi kepentingan bangsa dan tanah air sebagai ibadah kepada Allah. Salah seorang cucunya yaitu Ibu Maryam dalam wawancara majalah Intisari No 137, Desember 1974 menuturkan, “Opa tidak meninggalkan warisan berupa harta. Namun beliau meninggalkan warisan yang lebih berharga, yaitu nama baiknya sebagai orang yang pandai dan jujur.”
Semoga Allah SWT memberi tempat yang penuh kemuliaan kepada arwah almarhum Haji Agus Salim dalam kehidupan di alam akhirat yang kekal.
Daftar Pustaka
Latief, M. Sanusi, dkk, Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat, Penerbitan Pertama (Padang: Islamic Centre Sumatera Barat, 1981).
Masyafa, Haidar, Cahaya Dari Koto Gadang: Novel Biografi Haji Agus Salim(Yogyakarta: Spirit & Grow, 2015).
Panitia Buku Peringatan, Seratus Tahun Haji Agus Salim (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996).
Panitia Peringatan Hadji A.Salim Genap Berusia 70 Tahun, Djedjak Langkah Hadji A. Salim: Pilihan Karangan, Utjapan dan Pendapat Beliau Dari Dulu Sampai Sekarang (Djakarta: Tintamas, 1954).
Pratiknya, A.W. penyunting, M. Natsir: Pesan Perjuangan Seorang Bapak – Percakapan Antar Generasi (Jakarta – Yogyakarta: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia dan Laboratorium Dakwah, 1989).
Roem, Mohamad, “Memimpin Adalah Menderita: Kesaksian Haji Agus Salim” dalam Taufik Abdullah, Aswab Mahasin, Daniel Dhakidae, Manusia Dalam Kemelut Sejarah (Jakarta: LP3ES, 1978).
Salam, Solichin, Hadji Agus Salim Hidup dan Perdjuangannja (Djakarta: Djajamurni, 1961).
Salam, Solichin, Hadji Agus Salim Pahlawan Nasional (Djakarta: Djajamurni, 1964).
Salim, Hadji Agus, Pesan-Pesan Islam – Rangkaian Kuliah Musim Semi 1953 di Cornell University Amerika Serikat, Penerjemah J. Taufik Salim (Bandung: Mizan, 2011).
Tempo, Agus Salim: Diplomat Jenaka Penopang Republik (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2013).