Timbangan Kepemimpinan: antara Amanah dan Hisab

Avatar photo

Abdullah A Afifi

⛊Bey Abdullah | Tan Jabok Syekh Jabok | ⚽ Bio Aktifitas: https://arifabdullah.id | Telegram: https://t.me/beyabdullah

Segala puji bagi Allah, tuhan Yang Maha Adil, yang menetapkan dengan sempurna kebaikan dalam setiap ketetapan-Nya. Shalawat serta salam kepada pemimpin yang adil, penutup para nabi, Muhammad SAW, serta sahabat dan yang meneladaninya hingga hari kiamat.

Setiap amal yang dilakukan oleh manusia akan diperhitungkan di hari akhir. Baik amal yang dilakukannya sendirian maupun yang dilakukan secara beramai-ramai atau berjamaah. Semuanya ini akan ditimbang dengan seadil-adilnya oleh Allah SWT. Tidak ada jaminan bahwa sesuatu yang dilakukan bersama-sama adalah pasti benar, terutama jika dilakukan dengan cara yang salah dan melanggar syariat. Oleh karena itu, setiap orang, terlebih lagi seorang pemimpin, harus berhati-hati dalam setiap keputusan dan tindakan yang diambil. Karena Allah akan meminta pertanggungjawaban kepada masing-masing dari kita.

Allah SWT dalam Al-Quran menyampaikan: “Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Az-Zalzalah: 7-8).

Dalam ayat ini Allah menegaskan setiap amal kebaikan yang dilakukan dengan niat yang ikhlas akan mendapat pahala dari Allah SWT. Terlebih jika amal tersebut merupakan amal jariyah yang terus mengalir pahalanya meskipun seseorang tersebut telah meninggal dunia.

Kepemimpinan yang mendatangkan kebaikan bagi umat termasuk dalam kategori amal jariyah. Seorang pemimpin yang adil, bijaksana yang sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan As-Sunnah serta menjalankan amanah tersebut dengan baik akan mendapatkan pahala yang terus mengalir selama kebijakan dan keputusannya memberikan manfaat bagi umat.

Sebaliknya, sebagaimana Allah memberikan pahala atas kebaikan, Allah juga memberikan balasan yang buruk bagi kezaliman. Bahkan, kezaliman dalam kepemimpinan memiliki dampak yang lebih luas dan lebih berat hisabnya.

Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, yang kalian doakan dan mereka mendoakan kalian. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan mereka membenci kalian, yang kalian laknat dan mereka melaknat kalian.” (HR. Muslim)

Pemimpin yang zalim tidak hanya merugikan dirinya sendiri, tetapi juga merugikan banyak orang. Setiap kebijakan yang merugikan rakyat, menghalangi keadilan, atau menzalimi kaum yang lemah akan menjadi beban besar di hari perhitungan kelak. Rasulullah SAW mengingatkan bahwa kepemimpinan adalah amanah besar yang bisa menjadi penyebab kehancuran besar bagi mereka yang tidak menjalankannya dengan benar.

Jika seseorang memfitnah seorang janda setelah suaminya meninggal, itu adalah kezaliman yang besar. Jika seseorang menahan hak anak yatim setelah kematian ayahnya, itu adalah dosa besar yang akan menjauhkan syafaat nabi Muhammad SAW. Maka bagaimana dengan pemimpin yang membiarkan kezhaliman ini terjadi di bawah kepemimpinannya? atau bahkan dia sendiri yang melakukan hal tersebut demi keuntungan duniawi yang sesaat. Balasan bagi pemimpin yang tidak menegakkan keadilan tentu lebih berat, karena ia memiliki kuasa untuk mencegah kezaliman tetapi memilih untuk tidak bertindak bahkan terlebih pula ia yang menggiatkan hal tersebut.

Allah SWT berfirman: “Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, meskipun terhadap kerabatmu, dan penuhilah janji dengan Allah. Itulah yang diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.” (QS. Al-An’am: 152)

Ayat ini menegaskan pentingnya keadilan dalam setiap aspek kehidupan, terlebih dalam kepemimpinan. Pemimpin yang baik harus memastikan bahwa hak-hak masyarakatnya terpenuhi, terutama hak-hak mereka yang lemah dan tidak memiliki kekuatan untuk membela diri, baik karena keterbatasan dirinya ataupun tidak adanya pelindung. Kelemahan ini adalah yang perlu diisi oleh kepemimpinan, sehingga betul jika dikatakan kepemimpinan disatu sisi berganjar surga dan disisi lain memberikan ganjaran api neraka.

Seorang pemimpin harus memahami bahwa setiap keputusan yang ia buat akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Tidak ada satupun kebijakan atau tindakan yang luput dari pengawasan-Nya. Oleh karena itu, pemimpin yang beriman akan selalu berhati-hati dalam menjalankan tugasnya, mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi, dan selalu bertindak dengan keadilan serta kebijaksanaan.

Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah seorang pemimpin mengurusi urusan kaum Muslimin, lalu ia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan baginya surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini memberikan peringatan yang sangat jelas bagi para pemimpin. Kepemimpinan bukanlah sarana untuk mencari keuntungan pribadi, melainkan amanah yang harus dipertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya. Pemimpin yang menipu rakyatnya dengan kebijakan yang tidak adil, korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, atau sekadar ingkar pada janji akan menghadapi balasan yang sangat berat di akhirat.

Maka, setiap pemimpin harus selalu ingat bahwa amanah yang diberikan kepadanya bukanlah kehormatan semata, tetapi juga ujian besar yang akan dipertanggungjawabkan di hari akhir. Ia harus memastikan bahwa setiap kebijakan yang ia buat selaras dengan nilai-nilai Islam, tidak menzalimi rakyat, dan memberikan manfaat bagi kehidupan banyak orang.

Semoga kita semua, baik sebagai pemimpin dalam skala kecil maupun besar, selalu diberikan hidayah dan kekuatan untuk menunaikan amanah dengan sebaik-baiknya, agar timbangan amal kita di hari akhir lebih berat kepada kebaikan dan keberkahan. Aamiin.