Banyak pelajaran dari perjalanan hidup bisa kita petik. Perjalanan waktu juga meninggalkan hikmah-hikmah dari kejadian. Setiap hikmah memberikan ruang buat kita untuk introspeksi diri. Banyak ilmu didapati, bahkan tidak sedikit juga diperoleh dari orang lain yang tidak seiman. Jika baik dan bermanfaat boleh diambil. Karena pada hakikatnya ilmu itu barang yang hilang dari orang mukmin, dimanapun didapati dia berhak mengambilnya. Mengambilnya dengan cara yang benar tentunya. Dalam hadits juga disinggung tentang ini. Hadits ini termasuk katagori lemah tapi secara makna benar adanya. Diriwayatkan oleh Zuhair bin Harb dalam kitabnya Al-‘Ilm no.157, dan Abu Nu’aim dalam kitabnya Hilyatul Auliyaa 3/354; Abdullah bin Ubaid berkata:
الْعِلْمُ ضَالَّةُ الْمُؤْمِنِ، كُلَّمَا أَصَابَ مِنْهُ شَيْئًا حَوَاهُ وَابْتَغَى ضَالَّةً أُخْرَى
Artinya: “Ilmu itu suatu yang hilang dari seorang mukmin, setiap kali ia mendapatkan sesuatu darinya maka ia mengambilnya, kemudian ia mencari lagi yang lainnya”
Sejarah kenabian mengajarkan pada kita bahwa, ilmu bermula dari keimanan. Dan manusia beriman pertama kali adalah nabi Adam As. Dari situ ilmu turun temurun dan berkembang. Periode nabi dan Rasul datang silih berganti. Setiap ada penyimpangan Allah SWT mengutus nabi berikutnya. Jika penyimpangan sampai pada tingkat kerusakan akidah yang diutus oleh Allah adalah Rasul dari kalangan nabi. Penyimpangan pertama kali terjadi dalam masalah akidah dengan munculnya kesyirikan maka Allah SWT mengutus rasul yang pertama yaitu nabi Nuh As. Begitulah selanjutnya sampai rasul yang terakhir nabi Muhammad Saw. Amat banyak jumlah nabi yang diutus oleh Allah SWT dalam rangka memperbaharui iman dan ilmu. Ada 124.000 jumlah nabi, dan 315 diantara mereka adalah para rasul. Betapa banyak ilmu yang diwariskan oleh mereka. Dan mereka adalah orang-orang Islam dan beriman. Karena para nabi bersaudara dalam satu agama.
Banyak ilmu berceceran dimana-mana. Ada yang diamalkan oleh orang lain bukan pengikut nabi. Maka ilmu tersebut adalah haknya orang-orang beriman untuk mengambilnya kembali. Diantara ilmu tersebut ada yang sudah dimodifikasi sesuai kondisi orang-orang yang mendapatkannya. Kewajiban kita adalah melakukan filterisasi ilmu tersebut apalagi ada yang bersentuhan dengan ranah keyakinan. Inilah yang dilakukan ulama dan ilmuwan muslim disaat kejayaan ilmu pengetahuan diabad pertengahan. Mengadopsi ilmu dari mana saja, dan mengadaptasikannya dengan syariat Islam. Ambil yang baik, tinggalkan yang jelek, itulah yang dilakukan para ulama. Gerakan penterjemahan ilmu pengetahuan masa itu berada pada puncak kemajuannya. Begitu terbukanya suasana keilmuan dalam Islam sehingga peradaban ilmu pengetahuan waktu itu berada ditangan kaum muslimin, tidak hanya di jazirah Arabia tapi juga merambah ke berbagai benua termasuk Eropa. Berbeda yang terjadi hari ini, ilmu dibuat gado-gado, dicampur adukan, sehingga karakteristik aslinya pudar bahkan hilang. Ada yang mengkaji Al-Qur’an dengan pisau analisis Bibel… Anehkan…
Ayok… kembalikan kejayaan ilmu dan iman, agar selamat dunia dan akhirat…