Muhasabah Diri (88): Mendidik Buah Hati Dengan Pendekatan Materi, Petaka Atau Anugerah?

Avatar photo

Dr Arman Husni

Assoc Prof Bahasa Arab IAIN Bukittinggi, Unsur Ketua PDM Muhammadiyah Limapuluh Kota, Dewan Pengawas Yayasan Darulfunun. (facebook)

Orang tua terutama ibu adalah pendidik utama di rumah tangga bagi anak-anaknya. Disitulah mereka banyak mendapatkan rasa kasih sayang. Bahkan orang tua bekerja untuk tujuan bagaimana agar mampu membiayai buah hati dan keluarga. Tidak sedikit orang tua bersusah payah membanting tulang demi anak-anaknya. Tidak tega melihat mereka tidak tercukupi berbagai kebutuhannya, berbagai usaha untuk itu dilakukan.

Materi dan kekayaan amatlah penting dalam meringankan berbagai tuntutan dalam kehidupan berkeluarga. Tidak sedikit orang tua mengeluarkan biaya yang besar buat pendidikan anak-anaknya. Tidak hanya mencukupkan kebutuhan mereka juga ada yang mengikuti apa saja yang dituntut dan diminta oleh anak-anaknya.

Banyak cara untuk mengekspresikan bentuk kasih sayang kepada anak-anak. Apakah mengikuti semua keinginan yang dituntut oleh mereka itu baik? Apalagi dewasa ini berbagai sarana dan produk yang memanjakan seseorang bermunculan, berkat kemajuan teknologi. Itulah kreativitas manusia yang cepat berkembang dan berbagai ide bermunculan. Tapi perlu diingat yang namanya produk teknologi ibarat pisau bermata dua, ada sisi manfaat dan sisi mudharatnya. Jika tidak lihai menggunakannya, ujung-ujungnya berakibat buruk.

Sahabat…

Terlalu memanjakan dan mengikuti permintaan buah hati kita akan berdampak negatif bagi karakternya, bahkan jika suatu saat apa yang mereka minta pada orang tuanya tidak terpenuhi, bisa jadi akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, terjadi letupan ketidak senangan. Dan jadi sebab buat mereka untuk meluapkan ketidak puasan mereka terhadap apa yang tidak mereka dapati. Fenomena anak durhaka dan bangkang pada orangtuanya, bahkan memperbudak orangtua demi mendapatkan apa yang dia inginkan. Memanjakan anak berlebih-lebihan dengan materi tidaklah ideal. Pola tarbiyah nabawiyah dengan pendekatan keimanan dan ibadah tetaplah ideal sampai kapan pun. Warisan yang beliau tinggalkan buat umatnya amatlah berharga sekali. Sayang anak artinya ajari dia adab-adab dan ibadah. Jangan bunuh masa depan mereka menjadi generasi lemah yang tidak bisa apa-apa karena sewaktu kecil mereka terlalu dimanja dan tidak berkembang kecerdas spritual, sosial dan keterampilan motoriknya.

Di negara maju penggunaan teknologi berupa gadget dibatasi bahkan tidak boleh digunakan kecuali buat mereka yang sudah mengecap pendidikan di perguruan tinggi. Di negeri kita? Perlu kebijkan menyelamatkan moral generasi secara menyeluruh… Bagaimana etika dan moral tetap jadi panglima buat pendidikan kita.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مُـرُوْا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّـلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا، وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ.

Artinya: “Suruhlah anak kalian shalat ketika berumur 7 tahun, dan kalau sudah berusia 10 tahun meninggal-kan shalat, maka pukullah ia. Dan pisahkanlah tempat tidurnya (antara anak laki-laki dan anak wanita).” (HR. Abu Daud)

Meskipun usia 7 atau 10 tahun belumlah usia baligh, tapi pembiasaan diusia itu amatlah membekas pada kebiasaan masa yang akan datang. Bahkan sempat ada hasil penelitian bahwa anak-anak yang terbiasa melakukan aktivitas gerakan shalat diwaktu kecil disaat rentang usia antara 7-10 tahun banyak diantara mereka terhindar dari penyakit yang banyak dirasakan disaat usia dewasa diantaranya sakit pinggang 🤔. Tapi kita beramal karena ada dalil bukan dari hasil penelitian… Ini catatan buat kita, beramal dengan dalil berpahala tentunya.

Generasi adalah tumpuan harapan, semoga gerakan menyelamatkan masa depan jadi pemicu buat kita, bagaimana berbuat. Kembali pada pola pendidikan ala Nabi, insya Allah kita selamat.