Jika Bukittinggi adalah koto (kota) rang Agam, maka Payakumbuh pasa (pasar) rang Limapuluh. Ungkapan yang kedua itu tak muncul sendiri melainkan berlatar belakang sejarah, politik, sosial budaya dan ekonomi Kota Payakumbuh dan Kabupaten Limapuluh Kota.
Dalam tambo, misalnya, disebutkan serombongan orang berjumlah 50 orang konon turun dari Pariangan sampai di daerah yang ditumbuhi kumbuah, sejenis tumbuhan rawa. Lalu, di Labuah Basilang mereka berpisah dan masing-masing mendirikan kampung sampai akhirnya jadi 50 koto.
Dalam sejarah, Payakumbuh adalah ibukota Kabupaten Limapuluh Kota, sebelum berdiri sendiri jadi Kotamadya 17 Desember 1970. Tak heran jika warga Limpuluh Kota hingga hari ini menyebut Payakumbuh “pasa” alias pasar. Kalau ada yang bertanya dan dijawab ka “pasa”, itu artinya Payakumbuh. Tak ada sebutan “pasa” selain Payakumbuh.
Untuk pasar selain Payakumbuh warga menyebutnya “pokan” atau pekan. Di kawasann mudiak (Limapuluh Kota Bagian Utara) yaitu Kecamatan Payakumbuh, Guguak, Mungka, Suliki, Bukit Barisan, dan Kecamatan Gunung Omeh, bila menyebut “pokan”, itu bisa berarti Pokan Komih/ Kamis (Limbanang), Pokan Sotu/ Sabtu (Dangung-Dagung), Pokan Sinoyan/ Senin (Suliki), Pokan Lasa /Selasa (Mungka), Pokan Rabaa/Rabu (Simalanggang). Begitu juga di Kecamatan Harau, Luhak, Sago Halaban atau Situjuah Limo Nagori.
Hanya warga Kecamatan Kapur IX dan Pangkalan Koto Baru yang menyebut Payakumbuh. Mereka menyebut pasa untuk pekan-pekan untuk pasar yang ada di tiap nagari di sana. Perbedaan itu mungkin karena zaman penjajahan Belanda Kecamatan Kapur IX dan Pangkalan Kotobaru berada di bawah Keresidenan Bangkinang.
Terlepas dari faktor sejarah itu, kultur dan ekonomi masyarakat Limapuluh Kota memang telah menempatkan Payakumbuh sebagai pasarnya. Apapun produk Limapuluh Kota dipasarkan di Payakumbuh. Sebaliknya kebutuhan pun dibeli di Payakumbuh. Hanya belakangan sejak Bupati Alis Marajo membangun jalan ke pelosok Limapuh Kota, sebagian besar produk Limapuluh Kota, terutama ayam, telur, coklat, karet (sejak pabrik karet di Ngalau tutup), gambir, jagung, pisang dan sebagainya langsung dipasarkan ke Pekanbaru atau ke Padang.
Yang meramaikan pasar kuliner malam hari di Payakumbuh, penjual atau pembeli, juga warga Limapuluh Kota. Tak aneh kalau yang terkenal di malam hari di Payakumbuh adalah sate Dangung-Dagung, martabak Kubang dan jeruk Gunung Omeh, daerah Limapuluh Kota. Limpuluh Kota sendiri, meski sudah pindah ibukota ke Sarilamak, belum punya “pasa”.
Melihat kenyataan itu sudah saatnya dirumuskan perencanaan bersama pembangunan Payakumbuh dan Limpuluh Kota, sebagaimana halnya pernah saya saran dan dikerjakan Kabupaten Solok dan Kota Solok masa Ketua Bappeda Kota Solok dijabat Drs. Yulizar Bahrin 1988 silam.
Perencanaan bersama Payakumbuh dan Limapuluh Kota bisa dimulai oleh Payakumbuh dengan membangun dua pasar baru, di bagian utara kota. Pasar ini bisa jadi kolektor dan distributor produksi pertanian, perkebunan dan peternakan rakyat Limpuluh Kota Bagian Utara yang terdiri dari 6 kecamatan.
Pasar ini, bisa dinamai Latina (Limpasi Tigo Nagari), akan sangat strategis dan efektif karena terletak di lintasan Jalan Lintas Sumatera, Pekanbaru – Bukittinggi. Pasar ini bisa jadi pusatdistribusi ayam, telur dan beras dari Limapuluh Kota Bagian Utara ke Pekanbaru, pasar utama produk Limapuluh Kota.
Konsekwensinya, Pemkab Limapuluh Kota perlu meningkatkan status jalan Lampasi – Mungka- Limbanang dari jalan kabupaten jadi jalan provinsi menambah volume angkutan di Jalan Lampasi- Dangung-Dagung – Limbanang yang sudah berstatus jalan provinsi.
Peningkatan status jalan ini jadi penting mengingat kawasan ini paling besar jumlah penduduknya dan jumlah sekolahnya. Selain lebih luas wilayahnya juga merupakan penghasil utama beras, ayam dan telur di Lampuluh Kota, sekaligus mendukung percepatan Koto Tinggi menjadi kota.
Pasar baru kedua yang dibutuhkan Payakumbuh adalah di sekitar Bukit Sitabuah Air Tabit atau bagian selatan kota. Pasar ini akan berfungsi sebagai pusat perdagangan beras dari selatan Limpuluh Kota, seperti dari Kecamatan luhak, Sago Halaban dan Situjuah Limo Nagari. Pasar ini sekaligus menampung produk dari Lintau Kabuapten Tanah Datar. Konsekwensinya Limapuluh Kota harus meningkatkan jaringan jalan di sekitar Luhak, Sago Halaban, dan Situjuah.
Dengan demikian, warga Payakumbuh/Limapuluh Kota tak harus bagadincik di Pasar Ibuah dan pasar pusat kota yang kini jadi sarang kemacetan.
Tapi pembangun kedua pasar tersebut memang sangat ditentukan kejelian pejabat kedua daerah melihat peluang dan tantangan kemudian bagiamana merencanakan peningkatan kesejahteraan rakyat daerahnya hingga sepuluh tahun ke depan. Dan, ini tentu lebih ”merakyat” ketimbang membangun lapangan terbang yang peernah dikemukakan Walikota Payakumbuh. Sebab, bandara hanya menyangkut kepentingan orang-orang berduit karena yang naik pesawat terbang hanyalah orang-orang mampu.
Kita melihat rencana pembangunan pasar itu merupakan ujian bagi kedua kepala daerah terhadap komitmennya pada peningkatan kesejahteraan rakyat. (*)
Komentar Singgalang Kamis 20 Maret 2014