Anak muda, di Padang dan Sumatera Barat, terutama yang lahir setelah tahun 1970-an mungkin tak tahu dari mana asal usul nama atau istilah nasi Ampera atau warung nasi Ampera meski sering membacanya terera di depan rumah makan. Mungkin juga sudah sering menikmatinya.
Istilah Ampera erat kaitan dengan perjuangan bangsa dan tak mungkin dihapus dari lembaran sejarah Indonesia. Kisahnya bermula sekitar tahun 1960. Kala itu Presiden Soekarno sedang getol-getolnya mengumandangkan doktrin Nasakom, singkatan nasionalisme, agama dan komunis. Di balik itu Partai Komunis Indonesia (PKI) semakin mendominasi pemerintahan. Sementara kondisi ekonomi semakin buruk. Di mana-mana rakyat kelaparan.
Upaya membaurkan nasionalisme, agama dan komunis itu mendapat tantangan dari berbagai pihak. Terutama dari TNI (ABRI) dan pemuka agama Islam. Menghadapi itu PKI kemudian melakukan aksi pembantaian sejumlah jenderal TNI pada 30 September 1965 di Lubang Buaya Jakarta. Gerakan itulah yang dikenal dengan nama Gerakan 30 September (Gestapu) PKI disingkat G.30.S/PKI.
Para pelaku G-30 S/PKI berhasil ditumpas TNI di bawah pimpinan Mayor Jenderal Soeharto. Namun, para pendukungnya masih terus melakukan berbagai gerakan teror dan mengacau keamanan. Bahkan umat Islam yang mau ke masjid menunaikan shalat subuh pun diteor dan ditakut-takuti.
Kondisi politik, keamanan dan ekonomi yang buruk saat itu mengundang aksi mahasiwa dan pemuda turun kejalan. Pada 10 Januari 1966 mahasiswa yang tergabung Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) turun berdemonstrasi di jalanan Jakarta. Lalu, diikuti mahasiswa di seruluh kota –kota di Indonesia.
Aksi itu terus meluas. Ada yang tergabung dalam KAPI (Kesatuan Aksi Pemuda Indonesia, KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia) yang dimotori Pelajar Islam Indonesia (PII). Dalam beberapa hari kemudian muncul aksi serupa dari berbagai kelompok profesi.
KAMI /KAPPI berjuang sebagai pengemban Amanat Penderitaan Rakyat yang disingkat AMPERA. Ada tiga tuntutan yang diusung para pejuang Ampera yang dikenal dengan singkatan TRI TURA ( Tiga Tuntutan Rakyat). Yaitu : (1) Bubarkan PKI beserta ormas dan antek-anteknya, (2) Rombak Kabinet Dwikora (seratus menteri) yang didominasi tokoh PKI dan (3)Turunkan harga dan perbaiki sandang-pangan.
Tritura yang disuarakan pejuang Ampera akhirnya dipenuhi Presiden Soekarno. Pada 11 Maret 1966 Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 ( disingkat Supersemar. Melalui surat itu Soekarno memerintahkan Mayor Jenderal Suharto, kemudian menjadi Presiden RI, untuk membubarkan PKI dan ormas-ormasnya. Selain itu, Supersemar juga mengamanatkan agar meningkatkan perekonomian Indonesia sehingga dapat terwujud kesejahteraan sosial dan ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini pula kemudian yang dijadikan landasan pikiran mengeluarkan Ketetapan (TAP) MPRS no XXIII/MPRS/1966 di bidang ekonomi, keuangan dan pembangunan.
Para mahasiswa dan pemuda yang turun di jalan itu mendapat dukungan semua lapisan masyarakat, kecuali pendukung PKI tentunya. Pengusaha, pedagang dan tokoh masyarakat ramai-ramai menyediakan dapur umum dan membeli nasi bungkus untuk dibagikan kepada para mahasiswa dan pemuda itu. Bahkan banyak yang menyediakan kendaraan mobil, pakaian dan minuman.
Bantuan seperti itu terus berlanjut ketika KAMI/KAPPI melakukan penangkapan akktivis PKI. Beda dengan kebanyakan aksi demo sekarang yang tak sepnuhnya mendapat dukungan rakyat. Diantaranya malah dihadang warga karena dianggap mengganggu ketertiban umum.
Di Padang khususnya dan di Sumatera Barat umumnya, pengusaha warung nasi pun menyumbangkan nasi bungkus untuk pejuang Ampera. Karena sudah sedemikian besar jumlahnya, bungkusan nasinya pun menjadi kecil. Lauk pauknya kadang cuma sepotong ikan dan sedikit sayur.
Di Sumatera Barat nasi bungkus untuk pejuang Ampera itulah yang kemudian disebut nasi Ampera. Itu pula yang berkembang menjadi ciri rumah makan. Jika ada rumah makan yang menulis Ampera berarti menyediakan nasi bungkus atau sepiring nasi sepotong ikan, rendang atau ayam dan sedikit sayur. Kalau ditulis hidangan, berarti semua jenis masakan dihidangkan di meja makan.
Sebelum tahun 1966 nasi bungkus atau sepiring nasi dengan ikan dan sayur itu disebut nasi ramas. Ramas maksudnya lauk pauknya berikut sayur dan kuah gulai serta samba lado ditambah kerupuk merah dicampur dalam satu bungkus atau sepiring nasi. Tapi sejak munculnya istilah nasi Ampera, sebutan nasi ramas lama kelamaan menghilang dari bibir warga. Bahkan kini sudah jarang terdengar.
Seiring dengan menyebarnya warung nasi Padang (Minang) sebutan warung atau nasi Ampera pun ikut berkembang ke Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan dan berbagai kota lainnya. Hebatnya, warung nasi Ampera itu bukan hanya menjual masakan Padang tapi juga Sunda dan Jawa. Bentuknya juga bukan lagi sekedar warung kecil tapi berkembang jadi restoran besar.
* pernah dimuat di Khazanah Minggu Padang Ekspres – 10 Februari 2013