Memang di Jawa sangat kompetitif, kalau bisa dibilang semua pusat aktivitas dan potensi konflik ada disana.
Kenapa? Bottle Neck Curse
Di tempat saya, 3 tahun setelah di dengungkan tentang minimnya infrastruktur sekolah dan rendahnya partisipasi sekolah, hari ini sudah diatas 95% dari 70% kalau tidak salah.
Zonasi pun tidak terlalu membuat masalah.
Di Jawa? Walaupun hampir dana pembangunan ada di Pulau Jawa, sampai sekarang masalah ini tidak selesai, terakhir ributnya masyarakat karena sistem zonasi.
Ini baru pendidikan menengah, bagaimana pendidikan tinggi?
Apakah fakta jika dikatakan 100% lulusan sekolah dasar hanya bisa ditampung oleh 50% kursi yang ada di perguruan tinggi?
Apa artinya? Kita sudah punya proyeksi 50% dari penduduk Indonesia akan mengalami kesulitan dalam progress pembelajarannya dari dasar ke menengah, dan kemudian tinggi.
Apa solusinya? Kita harus berbenah, bukan hanya infrastruktur tetapi juga kurikulum, sistem ujian dan pendekatan.
Apa tahun depan kita siap mendengar di Singapur duduk aja anak didik tiba-tiba selesai SMA. Di Indonesia, penuh ujian dan kompetisi.
Tenaga anak didik kita habis sebelum dapat dioptimalkan memberikan manfaat bagi keilmuan dan bangsa.
Disaat persaingan untuk kuliah mendapatkan tempat dengan dana yang tidak sedikit, dan kompetisi yang sangat ketat, belum lagi waktu yang melelahkan.
Di Malaysia dan banyak negara lainnya, tidak ada ujian masuk, cukup lampirkan syarat bukti belajar, ijazah dan sertifikat, apalagi negara berbahasa seperti Brunei dan Malaysia, syarat bahasa Inggris bisa dikondisikan.
Tantangannya adalah biaya, karena pendidikan tinggi tidak murah, maka bantuan dari pemerintah dan sponsor adalah solusi, walaupun begitu saat ini sudah banyak alternative lain, seperti akses Universitas Terbuka yang tersedia di banyak negara yang memiliki KBRI, akses Open University International yang bisa diakses dimana saja.
Menyambut era disruptive, Mari kita sambut alternative global dalam memberikan solusi pendidikan.