Kartini tidak hanya dikenal sebagai pionir emansipasi perempuan di Indonesia, tetapi juga sebagai salah satu sosok yang menghubungkan gagasan pendidikan Barat dengan nilai-nilai keislaman tradisional. Salah satu interaksi penting yang membentuk pandangannya adalah hubungannya dengan KH Sholeh Darat. Melalui dialog dengan Kyai Sholeh, Kartini mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana pendidikan dapat diintegrasikan dengan nilai-nilai keislaman, yang kemudian memperkuat semangatnya dalam memperjuangkan hak-hak pendidikan untuk kaum marginal, khususnya perempuan.
Sebuah gambaran umum tentang kemajuan signifikan pendidikan yang telah dicapai oleh Indonesia adalah dalam memberikan akses pendidikan untuk semua gender. Dari program wajib belajar yang mencakup sekolah dasar hingga sekolah menengah, Indonesia telah melihat peningkatan dalam literasi dan akses pendidikan formal. UNESCO mencatat bahwa partisipasi sekolah di Indonesia nyaris mencapai angka universal untuk pendidikan dasar dan menengah.
Meskipun demikian, di daerah pedesaan dan di kelompok adat, masih sering menghadapi hambatan dalam mengakses pendidikan berkualitas. Kaum perempuan jika dibandingkan dengan laki-laki, mereka lebih sering mengalami kesulitan yang disebabkan oleh faktor geografis, ekonomi, dan sosial-kultural. Terlebih lagi di daerah rural dan terpencil, jika masyarakat daerah memiliki partisipasi pendidikan yang rendah, apalagi tingkat partisipasi untuk kaum marginal, khususnya perempuan.
Akan tetapi kesuksesan akses pendidikan tersbeut masih memiliki kendala pada transisi dari pendidikan menengah ke perguruan tinggi yang menampilkan kesenjangan yang lebih mencolok, khususnya bagi perempuan dari kelompok marginal. Data dari Kementerian Pendidikan menunjukkan bahwa terdapat disparitas gender yang signifikan dalam akses ke pendidikan tinggi. Faktor ekonomi, norma sosial yang mendukung patriarki, dan keterbatasan informasi tentang pendidikan tinggi adalah beberapa hambatan utama yang mempengaruhi partisipasi perempuan.
Banyak perempuan terpaksa menunda atau membatalkan rencana pendidikan tinggi karena alasan ekonomi atau tanggung jawab sosial, seperti pernikahan dini atau harus merawat anggota keluarga. Hal ini menunjukkan perlunya upaya lebih lanjut untuk memastikan kesetaraan dalam akses pendidikan tinggi.
Wawasan Kartini tidak lepas dari pengaruh KH Sholeh Darat, yang dikenal sebagai salah satu tokoh pembaruan Islam di Jawa. Melalui korespondensi dan diskusi, Kartini menyerap banyak pelajaran tentang bagaimana pendidikan Islam dan pemikiran keagamaan bisa berkontribusi terhadap emansipasi sosial, khususnya bagi perempuan. Mbah Sholeh memberikan perspektif yang membantu Kartini menggabungkan idealisme barat dengan nilai-nilai keislaman, memperkuat keyakinannya bahwa pendidikan harus dijangkau oleh semua lapisan masyarakat, termasuk perempuan dan seluruh kelompok marginal tanpa terkecuali.
Untuk mengatasi ketimpangan ini, pemerintah dan berbagai NGO swasta perlu lebih sigap dalam inisiatif untuk memperluas akses dan kualitas pendidikan kaum marginal, termasuk beasiswa khusus dan program pendidikan keuangan ataupun yang menstimulus kemandirian. Kesadaran akan pentingnya pendidikan yang setara juga perlu didorong melalui kampanye dan program pemberdayaan di pedesaan dan daerah terpencil.
Ide dan semangat emansisipasi Kartini dan juga tokoh penggerak perempuan lainnya masih terus digaungkan setiap tahunnya. Ide-ide tentang kesetaraan akses pendidikan terus menginspirasi perjuangan untuk pendidikan kaum marginal di Indonesia. Pendidikan yang berkualitas yang inklusif, yang menggabungkan nilai-nilai keislaman dan modernitas, adalah kunci untuk mencapai kesetaraan dan pemberdayaan yang adil dan merata. Peringatan Kartini setiap tahun mengingatkan kita terus pada kebutuhan akan pendidikan yang merata dan adil, sebuah impian yang masih terus diupayakan dan menjadi tugas kita semua di Indonesia.