Dr. H.A. Karim Amrullah: Ulama Pelopor dan Pembangun Jiwa Merdeka

Avatar photo

Fuad Nasar

Director of Zakat and Waqf Empowerment, Ministry of Religious Affairs, Indonesia. | alamat blog: https://fuadnasar.wordpress.com/

Dalam buku Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama Di Sumatera (Penerbit Umminda Jakarta, cetakan keempat, 1982), biografi yang ditulis oleh putranya yaitu Prof. Dr. Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), diceritakan ketika Presiden Soekarno datang ke Maninjau pada tahun 1948, beliau berpidato di depan beribu-ribu rakyat: “Saya adalah anak kehormatan orang Maninjau! Saya adalah anak angkatnya Dr. H. Abdul Karim Amrullah!”

Syekh Dr. H.A. Karim Amrullah tidak sempat menghirup udara kemerdekaan tanah air Indonesia dari penjajahan bangsa asing. Beliau tidak sempat melihat Soekarno menjadi Presiden Pertama Republik Indonesia. Beliau meninggal dua bulan sebelum proklamasi. Tetapi beliau pernah memberikan nasihat berharga sebagai pegangan bagi Bung Karno dan para pemimpin bangsa agar memberi contoh kepada rakyat dalam hal  kesederhanaan, “Janganlah terlalu mewah, Karno! Kalau hidup pemimpin terlalu mewah, segan rakyat mendekati!” pesannya kepada Bung Karno sebagaimana diungkapkan Buya Hamka.

Setelah Syekh H.A. Karim Amrullah dibebaskan dari pengasingan oleh Belanda di Sukabumi disebabkan dakwahnya yang dianggap membahayakan kepentingan kolonial, beliau menetap di Jakarta hingga wafat. Beliau memberikan tabligh dan pengajian kepada murid-muridnya dan jamaah di Masjid Tanah Tinggi. Semasa pendudukan Balatentara Jepang tahun 1942 – 1945, Syekh H.A. Karim Amrullah dibantu muridnya H.S.M. Nasaruddin Latif sebagai asistennya menyelenggarakan Kursus Muballigh di Jakarta.

Banyak muridnya dari kalangan aktivis Muhammadiyah dan para pemuda pengagumnya datang silih berganti dari segala golongan dan lapisan untuk menimba ilmu atau meminta nasihat-nasihatnya. Ketika Hamka datang dari Medan menziarahi ayahnya, sejumlah tokoh datang di kediaman Syekh H.A. Karim Amrullah di Tanah Abang, di antaranya Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Kahar Mudzakkir, K.H.A. Wahid Hasjim, S.K. Trimurti dan Parada Harahap.

Hamka mengisahkan suatu hari ayahnya diundang makan ke rumah Bung Karno di Pegangsaan Timur 56. Ketika itulah Bung Karno dilewakan (dicanangkan) menjadi anak angkatnya Syekh H.A. Karim Amrullah.

Gerakan Pembaruan Islam

Perjuangan ulama besar Minangkabau dan tokoh gerakan pembaruan Islam yang populer dipanggil Haji Rasul atau Inyiak De Er ditulis menjadi tesis di Institute of Islamic Studies McGill University Montreal Canada oleh Prof. Murni Djamal, MA. Tahun 1990-an ia pernah menjabat Direktur Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama.

Tesis Murni Djamal diterbitkan menjadi buku berjudul Dr. H. Abdul Karim Amrullah: Pengaruhnya Dalam Gerakan Pembaruan Islam di Minangkabau Pada Awal Abad Ke-20 (INIS Leiden-Jakarta, 2002). Adapun buku Ayahku karya Hamka diterbitkan dalam bahasa Jepang oleh Prof. Nakamura. 

Syekh H.A. Karim Amrullah lahir pada tanggal 17 Safar 1296 H/10 Februari 1879 M di Maninjau, Sumatera Barat, dan wafat tanggal 21 Jumadil Akhir 1364 H/2 Juni 1945 di Jakarta dalam usia 68 tahun. Semasa muda belajar mendalami pengetahuan Islam kepada ayahnya Syekh Muhammad Amrullah (Tuanku Kisai). Pada tahun 1894 beliau melanjutkan pelajaran di Mekkah kepada Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy selama 7 tahun sampai 1901. Dan berangkat kembali ke Mekkah tahun 1903 untuk kedua kali selama 3 tahun. Salah satu keteladanan Syekh H.A. Karim Amrullah ialah sangat menghormati gurunya walau dalam beberapa ijtihad hukum agama pernah berbeda pendapat. Ketika menyebut nama gurunya selalu menggunakan ungkapan takzim “Tuan Ahmad Khatib”.  

Beliau bersama Syekh Haji Abdullah Ahmad adalah dua ulama Indonesia pertama yang mendapat titel kehormatan Doctor Honoris Causa. Penganugerahan Doktor diberikan dalam pertemuan Hai’at Jam’iyyah Kubbar al-‘Ulama’ (Organisasi Masyarakat Ulama Utama) di Universitas Al-Azhar Mesir pada tahun 1926. Promotor penganugerahan Doktor Honoris Causa kepada Syekh H.A. Karim Amrullah dan Haji Abdullah Ahmad adalah Syekh Khalil al-Khalidi, mantan mufti Palestina, dan Atai’llah Effendi, Menteri Urusan Wakaf Irak. 

Dalam lawatan ke Mesir dalam rangka menghadiri kongres ulama internasional, seorang ulama Timur Tengah bertanya kepada beliau; mengapa tidak memakai pakaian (jubah) ulama? Syekh H.A. Karim Amrullah yang berpakaian jas dan berpeci dengan percaya diri menjawab, “Di negeri kami, ilmu itu bukan di sudut jubah atau serban, tetapi di dada dan tahan uji.” 

Selama kunjungan di Mesir itu beliau menyewa kamar di hotel kecil  sedangkan utusan negara-negara lain menginap di hotel besar. Ketika diwawancara wartawan, mengapa utusan dari Hindia Belanda (Indonesia) menyewa hotel murah? Syekh H.A. Karim Amrullah menerangkan, “Mereka adalah utusan resmi atau setengah resmi dari pemerintahan yang berkuasa di negerinya. Sedang kami adalah utusan dari rakyat jelata, bukan utusan dari pemerintah yang berkuasa di tanah air kami. Oleh sebab itu perbelanjaan kami terbatas.”

Sekembali dari lawatan ke Jawa dan bertemu K.H. Ahmad Dahlan di Yogyakarta, Syekh H.A. Karim Amrullah, menjadi penganjur dan pendiri organisasi Muhammadiyah di Minangkabau tahun 1925. Muhammadiyah pertama kali berkembang di Sumatera adalah di Sungai Batang, Maninjau. Uniknya, Syekh H.A. Karim Amrullah tidak menjadi anggota resmi Muhammadiyah. Tetapi perjuangan dan bantuannya sangat besar bagi perkembangan Muhammadiyah di luar Jawa.

Minangkabau menjadi pusat perkembangan Muhammadiyah yang pertama di luar Jawa. Dari Minangkabau tampil para mubaligh dan konsul Muhammadiyah yang diberi tugas mengembangkan Muhammadiyah ke berbagai daerah lain. Reformasi sistem pendidikan Islam secara klasikal dari pengajaran pondok menjadi belajar di kelas yang dipelopori Muhammadiyah di bawah bimbingan K.H. Ahmad Dahlan di Yogyakarta diadopsi oleh Sumatera Thawalib Padang Panjang. Pelajar Thawalib dibagi ke dalam tujuh kelas. Syekh H.A. Karim Amrullah mengajar di kelas tertinggi yaitu Kelas 7. 

Sumatera Thawalib dan Muhammadiyah – mengutip tesis Murni Djamal – merupakan dua institusi penting yang dibentuk oleh Syekh H.A. Karim Amrullah bersama-sama tokoh Kaum Muda lainnya menjadi inti pelaksanaan gagasan dan gerakan pembaruan Islam di Minangkabau. Kegiatan beliau antara tahun 1918 sampai 1930 itu merupakan sumbangan penting kaum Muslimin di Minangkabau terhadap perjuangan Islam di Indonesia.  

Murni Djamal mencatat tiga pemimpin pembaru yang paling berpengaruh dalam gerakan reformasi Islam awal abad ke-20 di Minangkabau yaitu: Dr. H.Abdul Karim Amrullah (1979 – 1945), Dr. H. Abdullah Ahmad (1878 – 1933), dan Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860 – 1947). Tiga ulama pembaru itu adalah murid Syekh Ahmad Khatib (1860 – 1916), putra asli Koto Gadang yang bermukim di Mekkah dan Syekh Tahir Djalaluddin (1869 – 1956) yang belajar di Mekkah lalu ke Al-Azhar Cairo dan menetap sampai wafat di Kuala Kangsar, Perak, Malaysia.

Dalam wawancara jarak jauh dengan Prof. Murni Djamal tanggal 27 Maret 2023 tentang perjuangan Syekh H.A. Karim Amrullah, saya mencatat   penjelasan bahwa gerakan pembaruan Islam yang antara lain dimotori oleh Syekh H.A. Karim Amrullah tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan gerakan pembaruan di negara lain misalnya di Mesir seperti yang dipelopori oleh Sayid Jamaluddin Al-Afghany dan muridnya Syekh Mohammad Abduh.  

Gerakan pembaruan Islam yang timbul di tengah kondisi bangsa-bangsa muslim sedang dijajah bangsa lain waktu itu sungguh fenomenal. Gerakan pembaruan bukan sekadar pemurnian ajaran Islam. Gerakan pembaruan mengupayakan agar ajaran Islam mudah dipahami dan dilaksanakan oleh umatnya di seluruh dunia. Perjuangan dakwah Syekh H.A. Karim Amrullah sebagai fase lanjutan dari Gerakan Paderi bermuara pada pengembangan pemikiran moderat sebagai titik temu antara Kaum Muda (Kaum Reformis) dan Kaum Adat (Konservatif). Titik temu itu tertuang dalam Piagam Bukit Marapalam, “Adat bersendi Syara, Syara’ bersendi Kitabullah.”   

Gerakan pembaruan, reformasi atau modernisme Islam di masa itu secara kategoris dikelompokkan dalam Kaum Muda di satu sisi dan Kaum Tua di sisi lain. Tantangan yang dihadapi Syekh H.A. Karim Amrullah sebagaimana terungkap dalam beberapa literatur berangkat dari upaya membersihkan Islam dari praktik-praktik yang tidak benar dan menghasilkan titik temu yang moderat. Para pengusung dan pendukung gerakan pembaruan di lapangan berhadapan dengan tantangan bukan hanya dari Kaum Tua, tetapi penguasa adat Minangkabau yang merupakan orang Islam juga.

Para ulama pembaru mengaktualisasikan gagasan dan gerakannya dengan menerbitkan buku, mendirikan terbitan berkala (majalah) dan mendirikan sekolah seperti Sumatera Thawalib Padang Panjang dengan pelopornya Syekh H.A. Karim Amrullah, Madrasah Adabiah Padang pendirinya Syekh H. Abdullah Ahmad, dan Diniyyah Putra/Diniyyah Puteri Padang Panjang pelopornya Zainuddin Labay dan adiknya Rahmah El-Yunusiyyah. Mereka membentuk organisasi guru dalam hal ini Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) di bawah pimpinan Dr. H. Abdullah Ahmad di Padang dalam rangka memperbarui sistem pendidikan Islam.

Sumatera Thawalib Padang Panjang

Sumatera Thawalib Padang Panjang didirikan tahun 1911 oleh Syekh H.A. Karim Amrullah. Embrio Thawalib adalah sekolah mengaji Surau Jembatan Besi Padang Panjang yang telah belangsung jauh sebelum tahun 1900 di bawah asuhan  Syekh Abdullah, diteruskan oleh Syekh Daud Rasjidi (ayahanda Buya H.M.D. Datuk Palimo Kayo) dan kemudian Syekh Abdul Latif. Sejak tahun 1911 pengajian Surau Jembatan Besi diasuh oleh Syekh H.A. Karim Amrullah.

Di lokasi bekas Surau Jembatan Besi kini berdiri Masjid Zuama’ (artinya pemimpin). Sebuah nama yang dipilihkan dan diresmikan oleh Buya Haji Mansur Daud Datuk Palimo Kayo. Buya Datuk adalah ulama perintis kemerdekaan, mantan Duta Besar RI di Irak dan Ketua Umum MUI Pertama Provinsi Sumatera Barat. Ia adalah alumnus Thawalib Padang Panjang dan murid Syekh H.A. Karim Amrullah.

Sepanjang perjalanan sejarahnya Sumatera Thawalib Padang Panjang melahirkan banyak ulama, pendidik, pemimpin dan tokoh masyarakat yang mengisi berbagai tempat pengabdian di tingkat nasional dan daerah setelah kemerdekaan. Sistem pengajaran Thawalib, termasuk kurikulumnya, menurut penelitian Murni Djamal, adalah diciptakan oleh para pendiri Sumatera Thawalib yaitu Syekh H.A. Karim Amrullah dan para guru Thawalib sendiri, tanpa dipengaruhi oleh sistem sekolah Al-Azhar Mesir yang di masa itu masih mempertahankan garis tradisional. Kendati buku-buku yang digunakan di Thawalib kebanyakan dari Mesir.  

“Sumatera Thawalib mungkin merupakan sekolah paling berpengaruh yang didirikan oleh Reformis Muslim di Minangkabau. Sekolah ini berhasil mencapai tujuannya yaitu melahirkan pemimpin-pemimpin agama dan pendukung-pendukung gerakan pembaruan.” terang Murni Djamal.

Pada tahun 1926 Syekh H.A. Karim Amrullah menyerahkan kepemimpinan Thawalib Padang Panjang kepada kader seniornya Angku Mudo Abdul Hamid Hakim (1893 – 1959). A. Hamid Hakim berasal dari Sumpur, Tanah Datar. Pada tahun 1946 didirikan Yayasan Thawalib Padang Panjang diketuai Abdul Hamid Hakim. Angku Mudo Abdul Hamid Hakim memimpin Thawalib Padang Panjang sampai wafat di Sumpur tahun 1959         

Menarik disimak komentar Van der Plas, Kepala Kantor Urusan Pribumi Pemerintah Belanda tentang Thawalib Padang Panjang yang didirikan oleh Syekh H.A. Karim Amrullah. Menurut Van der Plas, pengajaran di sekolah itu (Thawalib) bermutu sangat tinggi, dan berlawanan dengan sistem pendidikan (tradisional, pen), tidak didasarkan atas belajar dengan menghafal, tetapi lebih banyak atas pemikiran dan pemahaman.

Mahmud Yunus dalam buku Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (1960) menggambarkan, diperlukan 12 tahun pelajaran menurut sistem sekolah di Al-Azhar untuk mencapai apa yang diselesaikan dalam 7 tahun di Sumatera Thawalib. Semua itu adalah karena benih-benih pendidikan yang ditanam oleh Syekh H.A. Karim Amrullah. Sekolah Thawalib tidak hanya di Padang Panjang, tapi juga berdiri di Parabek, Padang Japang, dan beberapa tempat di Sumatera. Padang Panjang bukan hanya menjadi kota pelajar, tetapi dikenal sampai ke luar Minangkabau sebagai pusat kegiatan kaum reformis Islam atau pusat gerakan pembaruan Islam awal abad ke dua puluh. Murid-murid Thawalib diajar berpikir bebas dan melepaskan taqlid buta serta kemana pun pergi berani mempertahankan kebenaran.

Derita Seorang Pemimpin

Dalam perjalanan hidup dan perjuangan dakwahnya Syekh H.A. Karim Amrullah menghadapi tiga ujian terberat. Beliau lulus melewati ujian dengan rahmat Allah:

Pertama, ujian bencana alam.

Gempa bumi pada tahun 1926 mengguncang kota Padang Panjang dan sekitarnya. Gempa menelan banyak korban jiwa, harta benda dan merobohkan gedung sekolah Thawalib yang dibangun dengan susah payah. Perkataan yang keluar dari mulut Syekh H.A. Karim Amrullah saat itu, “Tidak ada harta dunia yang kekal. Harta Allah pulang kepada Allah.”

Kedua, ujian ideologi.

Penetrasi ideologi radikalisme komunis mempengaruhi sejumlah pelajar Thawalib Padang Panjang. Gerakan “merah” komunis yang bersikap anti-penjajah menggunakan siasat mengelabui kaum agama sehingga memicu perselisihan dan perpecahan di Sumatera Thawalib.

Komunisme diperkenalkan di Padang Panjang oleh Haji Datuk Batuah, salah seorang guru Thawalib. Syekh H.A. Karim Amrullah menentang habis-habisan komunis, bukan karena sikap radikal komunis terhadap Belanda, tetapi karena ketidakcocokannya dengan ajaran Islam. Komunis di mana pun pada hakikatnya memusuhi agama.

Haji Datuk Batuah dan para pengikutnya menggunakan cara-cara partai komunis dalam menjatuhkan lawan politik. Mereka berhasil memaksa Syekh H.A. Karim Amrullah berhenti sebagai kepala sekolah Thawalib. Syekh H.A. Karim Amrullah akhirnya menarik diri secara total dari Thawalib Padang Panjang.

Murni Djamal mengungkapkan dalam bukunya, “Bagi Haji Abdul Karim Amrullah peristiwa itu merupakan salah satu hari paling kelabu dalam hidupnya, terutama karena ia merupakan salah satu pendiri (guru) sekolah tersebut. Haji Abdul Karim Amrullah seolah-olah tanpa pekerjaan setelah meninggalkan Sumatera Thawalib tahun 1923 (data lain menyebut tahun 1926, pen). Syekh Djamil Djambek, Syekh Ibrahim Musa Parabek dan beberapa guru agama anti komunis masih mempunyai suraunya sendiri, sedangkan Haji Abdul Karim Amrullah hanya mempunyai rumah dan keluarganya saja. Tidak lama setelah ia meninggalkan sekolah ia membuka rumahnya bagi mereka yang masih mau menuntut ilmu padanya, dan mulai menyusun kembali para pengikutnya.”

Pada tahun 1923 Haji Datuk Batuah ditangkap Belanda dan dibuang ke  Nusa Tenggara Timur. Hamka menceritakan ayahnya (Syekh H.A. Karim Amrullah) kelihatan murung mendengar kabar tersebut. Meski mereka sudah berbeda paham dan berlainan jalan, tetapi kemuliaan jiwa seorang guru tampak disitu. Kepada Hamka, Syekh H.A. Karim Amrullah berkata, “Sudah tertangkap Haji Datuk Batuah. Sayang dia alim besar, terbenam saja ilmunya.”  

Syekh H.A. Karim Amrullah seorang yang teguh menjaga akidah dan berani menyampaikan pendiriannya terhadap suatu aturan atau kebijakan pemerintah kolonial yang merugikan rakyat dan membatasi kemerdekaan menyiarkan agama. Salah satu contoh, kebijakan Ordonansi Guru tahun 1928 yang telah diberlakukan di Jawa, saat hendak diterapkan di Minangkanbau ditentang oleh Syekh H.A. Karim Amrullah dan kawan-kawan para ulama pejuang. Ordonansi Guru intinya melarang guru-guru agama Islam mengajar sebelum terlebih dahulu mendapat izin dari pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Ketiga, ujian diasingkan ke luar daerah

Sekitar tahun 1941 Syekh H.A. Karim Amrullah ditangkap dan dibuang oleh pemerintah kolonial ke Sukabumi Jawa Barat. Sejak beberapa waktu sebelumnya ketika memberikan ceramah dan pengajian telah dimatai-matai oleh dinas intelijen politik Belanda atau diikenal dengan nama PID (Politieke Inlichtingen Dienst). Beliau bahkan pernah dipenjara di Bukittinggi.

Sewaktu Kongres Muhammadiyah di Bukittinggi tahun 1930 Syekh H.A. Karim Amrullah mengatakan dalam pidatonya, “Ulama-ulama tidak boleh kalau hanya duduk tafakur dalam suraunya sambil menggeleng-gelengkan kepala, seakan-akan kepala itu diberi per, lalu membilang-bilang tasbih kayu mati. Tetapi ulama-ulama harus tampil ke muka masyarakat, memimpinnya menuju kebenaran.”

Di tempat pengasingan di kampung Cikirai Sukabumi, beliau tinggal di rumah Tuan Iskandar, Jalan Cikirai No 8. Ketika ditanya, apakah di tanah Jawa ini beliau akan meneruskan perjuangan? Beliau menjawab, “Selama nyawa masih dikandung badan, dan di bumi yang dimana juapun, saya akan tetap berjuang menegakkan agama!” Banyak ulama dan pemimpin umat di Jawa, termasuk Pengurus Besar Muhammadiyah dari Yogyakarta, datang mengunjungi Syekh H.A. Karim Amrullah ke Sukabumi. Sejarawan dan peminat sejarah dapat menelusuri rumah tempat pengasingan Syekh H.A. Karim Amrullah. 

Menurut penuturan K.H. Abdullah Salim kepada Hamka, Pengurus Muhammadiyah setempat menggelar peringatan Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad Saw dalam suatu rapat umum dan mengundang Syekh H.A. Karim Amrullah sebagai pembicara. Namun diperingatkan oleh Wedana melalui Abdullah Salim bahwa sebagai seseorang yang dalam pengasingan jangan membicarakan politik. Tanggapan beliau di luar dugaan, “Nanti setelah saya naik podium hendak bicara, hendaklah engkau stop saya dan engkau sampaikan perintah itu kepada saya di hadapan umum.”

Revolusi Jiwa Menentang Nippon

Setelah kekuasaan kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang, dimulailah era penduduk balatentara Jepang di Indonesia, sekitar Maret 1942. Syekh H.A. Karim Amrullah dibebaskan. Beliau menetap di Jakarta, Gang Kebon Kacang IV No 22 Tanah Abang. Kegiatannya tetap berdakwah dan membina umat. Sikap kritisnya di masa penjajahan Hindia Belanda maupun di masa pendudukan balatentara Jepang tidak berubah.

Sewaktu acara pertemuan para ulama se Jawa di Bandung sesuai protokoler di zaman Jepang semua hadirin wajib melakukan penghormatan Keirei yaitu berdiri dan membungkukkan badan ke arah Istana Kaisar Jepang Tenno Heika di Timur Laut. Syekh H.A. Karim Amrullah saat itu telah diangkat menjadi guru pada latihan ulama seluruh tanah Jawa ditempatkan di tribun sederetan para pembesar Jepang. Satu-satunya ulama dan hadirin yang tidak berdiri dan tidak menundukkan badan, melainkan tetap duduk tenang di kursinya ialah Syekh H.A. Karim Amrullah. Beliau berprinsip Keirei merupakan perbuatan syirik karena menghormati sesama makhluk ciptaan Tuhan melebihi cara yang sewajarnya. Bung Hatta mengatakan, ulama yang mula-mula sekali menyatakan revolusi jiwa kepada Jepang di Indonesia ialah Abdul Karim Amrullah.

Mengenai alasan mengapa beliau tidak bersedia Keirei, Syekh H.A. Karim Amrullah saat itu menyatakan, “Tuan-tuan Ulama yang mulia! Memegang dan mempertahankan pendirian dan keyakinan tidaklah selalu membawa bahaya, bahkan asal kita tetap tawakkal kepada Tuhan. Cobalah lihat sikap saya tadi. Saya tetap duduk sekali-kali bukanlah karena ingin menentang perintah Saudara Tuan kita Dai Nippon, melainkan karena taat kepada ketentuan Allah. Allah yang melarang saya turut melakukan upacara rukuk kepada yang selain Dia. Cobalah tuan-tuan lihat sekarang. Paduka Tuan Kolonel tidaklah kecewa kepada saya karena saya tetap berpegang teguh kepada keyakinan agama saya. Sebab beliaupun orang yang taat setia pula kepada agamanya sendiri.”

Dalam kasus lain Syekh H.A. Karim Amrullah merasa keberatan untuk memenuhi undangan memberikan ceramah agama Islam di radio karena persyaratan teks pidato harus terlebih dahulu diperiksa atau disensor dari hal-hal yang tidak menguntungkan Dai Nippon. Menurut beliau, pemeriksaan teks pidato sudah menunjukkan kurang percayanya pihak yang mengundang kepada orang yang diundang.

Sekitar bulan April 1943, Syekh H.A. Karim Amrullah menulis risalah yang bersejarah atas permintaan Kolonel Horie, Kepala Kantor Urusan Agama (Shumubu) di Jakarta. Tulisan tersebut sebagai tanggapan atas buku “Wajah Semangat”. Beliau pada waktu itu diangkat sebagai Penasihat Shumubu. Dalam buku Ayahku dimuat sebagai lampiran oleh Hamka, dan diberi judul Hanya Allah.

Mengenai tata cara menghormati dengan sujud atau merundukkan badan, Syekh H.A. Karim Amrullah menjelaskan Hadis Rasulullah bahwa sekali-kali tidak patut sujud itu dilakukan kepada seorang juga, lain daripada Allah Tuhan Yang Maha Esa. Tidaklah layak bagi manusia akan sujud kepada sesama manusia pula. Oleh karena itu tidak juga boleh dilakukan ruku’ itu membesarkan sesuatu yang lain daripada Allah. Tidak ada pertuhanan yang disembah dengan sebenarnya melainkan Allah.

“Dengan ini saya tutuplah tulisan saya, ialah sekadar yang perlu untuk menjunjung tinggi permintaan Paduka Tuan Kolonel Horie. Dan sekali lagi saya harap, kiranya beliau akan memaafkan, jika di dalam tulisan ini kedapatan kata-kata yang janggal atau kurang baik menurut kesopanan tulis menulis terutama menurut perasaan dan pertimbangan tuan-tuan dari bangsa Nippon, yang bagi saya kesemuannya itu masih bersifat baru.” tulis Syekh H.A. Karim Amrullah pada bagian akhir karangannya.

Syekh H.A. Karim Amrullah seorang yang jujur dan berani terus terang mengutarakan pandangannya tentang sesuatu yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tanpa takut atas kekejaman tentara Jepang yang sudah menjadi rahasia umum di masa itu. Malah sebaliknya penguasa Jepang bersikap respek kepada beliau. Pemerintah Dai Nippon belakangan mengerti bahwa Keirei berlawanan dengan kepercayaan Islam. Dalam pertemuan-pertemuan yang dihadiri umat Islam tidak diwajibkan lagi melakukan Keirei.

Sampai Akhir Menutup Mata

Sekitar awal tahun 1944 Hamka datang dari Medan ke Jakarta. Ia berencana menjemput ayahnya agar pulang ke Sumatera Barat sesuai pesan para ulama sahabatnya di ranah Minang, seperti Syekh Muhammad Djamil Djambek, Syekh Ibrahim Musa Parabek, Syekh Daud Rasyidi, Syekh Sulaiman Ar-Rasuli dan Syekh Muhammad Siddik. Syekh Sulaiman Ar-Rasuli (Inyiak Candung), ulama yang sezaman namun berpisah karena perbedaan paham dan gerakan perjuangan, menuliskan notes dengan tulisan tangannya; “Abuya H. Abdul Karim. Segeralah pulang. Kami menunggumu dengan penuh pengharapan. Saudaramu Syekh Sulaiman Ar-Rasuli”.

Hamka juga minta pertimbangan Bung Karno, Bung Hatta dan K.H. Mas Mansur (Ketua PB Muhammadiyah). Mereka sepakat menahan Syekh H.A. Karim Amrullah lebih baik tinggal di Jawa saja. Bung Karno mengatakan, “Ulama di Sumatera banyak, di Jawa kurang! Biarlah beliau tetap di sini!”

Syekh H.A. Karim Amrullah dalam banyak pernyataannya menunjukkan watak keteguhannya dalam memegang prinsip akidah Islam dan sikap mencintai Tanah Air Indonesia di atas landasan Tauhid.

Berikut dialog Hamka dengan ayahnya. Saat dibujuk Hamka agar pulang ke Sumatera Barat, Syekh H.A. Karim Amrullah berkata sebagaimana diabadikan dalam buku Ayahku:

“Adapun perkara tempat tinggal, bagiku sama saja di antara tanah Jawa dan Minangkabau, atau dunia mana sekalipun. Tanah airku ialah setiap jengkal tanah yang dimana aku masih dapat mencecahkan keningku sujud kepada Tuhan.” 

“Tetapi masih ada was-was keluarga, jika Buya menutup mata di tanah Jawa ini!”

Jawab Syekh H.A. Karim Amrullah:

“Itu hanyalah was-was yang tidak berdasar ilmu dan tidak bertali dengan kehendak Allah. Di mana saja manusia akan mati. Dan tidak ada kelebihannya dan keutamaannya mati di kampung atau mati di Jawa. Yang penting adalah suatu perkara, yaitu adakah tanah tempat kita akan dikuburkan itu, sudi menerima kita karena amalan kita yang shaleh?”

Hamka mengenang perpisahan dengan ayahnya pada tanggal 4 April 1944 di Stasiun Tanah Abang. Pagi-pagi ia berangkat naik kereta api dari stasiun Tanah Abang menuju Pelabuhan Merak. Perjalanannya dilepas di stasiun kereta api oleh Syekh H.A. Karim Amrullah beserta istri dan beberapa muridnya. Bung Karno hadir mengantar di stasiun. “Saya katakan kepada Bung Karno: Ayah kita Bung!” Jangan khawatir Saudara. Kondektur melambaikan kipasnya, pluit berbunyi, dan saya pun berangkat…..Sejak itu saya tidak bertemu dengan beliau lagi.” tulis Hamka di bukunya.  

Syekh H.A. Karim Amrullah, di samping memiliki keahlian berpidato, juga memiliki ketajaman mata pena yakni keahlian mengungkapkan pikiran dan ilmunya melalui tulisan. Buku karangannya sebagian diterbitkan dalam bahasa Arab atau menggunakan tulisan Arab gundul berbahasa Melayu. Hamka mendata buku-buku karangan ayahnya yang ditulis sebelum dan setelah pulang dari Mesir sebanyak 27 judul, dan 3 judul manuskrip belum diterbitkan. Buku-buku karya Syekh H.A. Karim Amrullah di antaranya: Sendi Aman Tiang Selamat, Al-Burhan (Tafsir Juz Amma), Cermin Terus, An-Nida, Pelita (2 jilid), Pedoman Guru, Al-Faraidh, Izharu Asathiril Mudhillin, Syamsul Hidayah, Dinullah, Pembuka Mata, dan Pertimbangan Adat Alam Minangkabau.

Koleksi kitab-kitab dan warisan karya tulis Syekh H.A. Karim Amrullah sebagian tersimpan di perpustakaan pribadinya Kutub Chanah di Muara Pauh, Maninjau. Salah satu buku yang dicetak ulang oleh Penerbit Djajamurni dan Pustaka Panjimas berjudul Pengantar Usul Fiqh.

Syekh H.A. Karim Amrullah selama hidupnya sampai akhir menutup mata telah berjuang untuk kemuliaan agama, bangsa dan tanah air. Sebagai tanda penghargaan atas jasa-jasanya dan keteladanan bagi generasi muda, pemerintah pantas menganugerahkan tanda kehormatan bintang mahaputera kepada almarhum Dr. H. Abdul Karim Amrullah.

Sumber asal: https://fuadnasar.wordpress.com/2023/03/25/dr-h-a-karim-amrullah-ulama-reformis-pendidik-dan-ayah-angkat-bung-karno/