Kritik bahwa pendidikan memberikan output yang rigid dan monoton, sebetulnya sudah banyak dikritisi oleh para pelaku pendidikan, bahkan baru-baru ini juga dirumuskan mengenai HOTS (High Order Thinking Skills) atau SBTT (Keterampilan Berfikir Tingkat Tinggi) yang berlapis dan kompleks.
Alih-alih dari mengharapkan kecerdasan belaka, HOTS adalah keterampilan yang dikembangkan selama masa pembelajaran siswa, yang seringnya tidak dapat dikenali dalam penilaian evaluasi belajar secara umum. Pengembangan keterampilan HOTS disisipkan dalam soal-soal latihan yang mengharuskan siswa untuk berfikir minimum satu lapis sebelumnya. Sebelum menemukan pertambahan 1+1, siswa minta mengurai cerita misalnya tentang bayu yang memiliki sebuah kedondong kemudian setelah berjalan jauh beberapa meter, bertemu dengan ramai orang, ada seorang nenek memberikan sebuah kedondong, sehingga ada berapa kedondong bayu sekarang.
Semakin tinggi tingkat belajar anak, maka soal-soal berlapis ini akan semakin kompleks, seperti menemukan variabel a untuk menghitung soal dalam y=ax2+bx+c yang a sendiri perlu dihitung dari persoalan yang lain. Kemudian dikembangkan lebih kompleks dalam bentuk algoritma berlapis yang setiap lapisnya juga memiliki algoritme lainnya.
Keterampilan melihat solusi dari persoalan adalah tujuan pokok dari HOTS ini. Keterampilan berfikir kompleks akan menjadi kemampuan yang diharapkan dalam kesehariannya siswa sebagai pribadi dapat mempertimbangkan hal yang kompleks sebelum membuat keputusan.
Di beberapa sekolah-sekolah maju, HOTS ini sudah banyak dijumpai dari banyaknya lomba dan olimpiade yang diikuti. Sebaliknya di beberapa sekolah yang memiliki keterbatasan, menjadikan kemampuan HOTS siswa didik terlambat berkembang.
Seperti umumnya pendidikan, yang hasilnya bersifat jangka panjang. Maka kita akan melihat kemampuan siswa yang terlambat dalam pengembangan HOTS nya akan kesulitan mencerna, mengambil keputusan dan melerai masalah yang kompleks.
Dan tentu ini menjadi satu persoalan besar bagi pengembangan regional, dimana SDM-SDM di usia produktif diharapkan untuk dapat bersaing secara global. Keterbatasan SDM-SDM ini untuk berfikir kompleks, akan terindikasi dari sulitnya penerapan teknologi-teknologi dan pendekatan modern yang kompleks. Sehingga alih-alih menghadapi persoalan bagaimana untuk maju, justru akan terfokus di upaya penyelesaikan masalah konflik, dan ini kita saksikan sendiri.
Di masa-masa usia produktif, tentu yang diharapkan adalah hasil dengan sedikit training untuk mempertajam keterampilan. Pendidikan adalah investasi besar yang melibatkan 12 tahun pendidikan dasar dan 4 tahun pendidikan tinggi. Sehingga terlambatnya pengembangan keterampilan di usia belajar perlu sangat diperhatikan oleh semua pihak, khususnya pelaku pendidikan.