Syekh Abbas Abdullah dan Rahmah El-Yunusiyyah, Panas Dingin Politik

Usut punya usut, Persatuan Muslim Indonesia (Permi) era 1930-an yang telah berhaluan politik tak hanya ingin menempatkan Sumatera Thawalib dalam payungnya, tetapi seluruh sekolah agama. Terkenanglah kita untaian kalimat Rahmah El-Yunusiyyah (1900-1969), “Biarlah perguruan ini tetap terasing selama-lamanya dari partai politik dan tinggalkan ia menjadi urusan dan tanggung jawab orang banyak, yang macam-macam aliran politiknya.”

Kita telah paham jika Diniyyah School Puteri tak ada hubungan organisatoris dengan Sumatera Thawalib. Konon, Rahmah El-Yunusiyyah yang mengetahui gelagat rapat di Bukittinggi memilih keluar ruangan. Putri bungsu Rafi’ah (1872-1948) tak ambil pusing, apalagi perguruannya sedari awal telah dirintis dengan kekuatan sendiri.

Lain soal jika ucapan itu dikeluarkan oleh seorang penyokong Sumatera Thawalib. Menarik mencermati uraian Tim Peneliti FIBA IAIN Padang (2009) terkait jejak Syekh Abbas Abdullah (1883-1957). Ucapan ulama asal Padang Japang ini senada dengan Rahmah El-Yunusiyyah. Beliau berucap, “Kalau sekolah sudah memasuki dunia politik, maka sekolah itu akan hancur. Boleh berpolitik tapi jangan di sekolah.” Abbas Abdullah serta-merta mengubah nama perguruannya menjadi Darul Funun.

Dalam buku Rahmah El-Yunusiyyah dalam Arus Sejarah Indonesia (2021) dituliskan, “Rahmah tak melarang murid-muridnya berpolitik, namun setelah mereka tamat. Dengan bekal keislaman dan kekuatan iman, politik yang dijalankan akan menghadirkan maslahat.”

Abbas Abdullah memang belum sampai panas dingin seperti Haji Abdul Karim Amrullah alias Haji Rasul (1879-1945). Pengaruh politik di Sumatera Thawalib Padang Panjang terjadi sedari lama. Bahkan, saking sukanya berpolitik, ada beberapa guru dan muridnya mengusung komunis. Dilibaslah mereka oleh Haji Rasul yang memang tipikal keras. Urusan murid berpolitik ini serba runyam. “Tentang ini beliau tidak hati-hati, sebagaimana hati-hatinya Zainuddin Labay El-Yunusy, yang seketika perasaan itu telah merata dalam kalangan murid-murid, dia hanya berdiam diri,” tutur Buya Hamka (1967: 132).

Abbas Abdullah dan Rahmah El-Yunusiyyah tentu merasakan sendiri gejolak komunis mencapai puncaknya sepeninggal Zainuddin Labay (1890-1924) pada 1926-1927. Seusai itu, gairah berpolitik tak sirna. Persatuan Sumatera Thawalib didirikan pada 1928 yang kemudian diubah nama menjadi Persatuan Muslim Indonesia dengan singkatan PMI sampai akhirnya disingkat Permi. Intinya tetaplah sebagai wahana menyalurkan hasrat politik.

Diniyyah School Puteri terkena getah, apalagi Sumatera Thawalib Padang Japang. Abbas Abdullah dan Rahmah El-Yunusiyyah mulailah demam. Kendati melarang murid-muridnya berpolitik, mereka tetap saja kecolongan. Ketika murid Diniyyah School Puteri berpolitik dan konon lalai salat berjamaah sebenarnya bukan melulu kesalahan Rasuna Said (1910-1965). Saat tindakan Belanda mulai keras, bukankah tiga guru dibekuk ketika Politieke Inlichtingen Dients (PID) menggeledah Diniyyah School Puteri?

Nasib apes dialami Abbas Abdullah. Perguruan Darul Funun digeledah dan dibekukan sementara waktu. Burhanuddin Daya (1990: 133) menerangkan Perguruan Darul Funun berikhtiar bangkit kembali setelah 1936, namun murid-muridnya sangat kurang dan sewaktu zaman pendudukan Jepang terpaksa ditutup lagi.

Abbas Abdullah dan Rahmah El-Yunusiyyah dalam sejarahnya pernah panas dingin dengan politik. Namun, sejarah mencatat pula, mereka paling konsisten “berpolitik” menentang penjajahan dan teguh memegang prinsip dalam revolusi kemerdekaan.

Tanpa menyebut sosok tokoh Permi, sejarah telah mencatat ada yang membelot ketika negeri ini berjuang mati-matian mempertahankan kemerdekaan. Wallahu a’lam.(Hendra Sugiantoro, penulis buku Rahmah El-Yunusiyyah dalam Arus Sejarah Indonesia, 2021).

Diterbitkan di: Suhanews (31/08 2021)
https://suhanews.co.id/syekh-abbas-abdullah-dan-rahmah-el-yunusiyyah-panas