Puisi ini dimuat di Media Indonesia sekitar 3,5 tahun lampau. Dalam kurungan pandemi ini, dalam sunyi sendiri, dalam rindu yang gelisah, kubaca dan kueja lagi. Semoga di bulan suci ini, segala yang kita risaukan cepat berlalu. Salam santun kami sekeluarga bagi seluruh sahabat di mana pun berada. Napas puisi, napas kita.
Negeri Datuk Jabok
Oleh: Adri Sandra
*Puisi ini dimuat di Media Indonesia sekitar 3,5 tahun lampau.
Pernahkah kau lihat
Sesuatu yang berlari di hadapanmu.
Bayang-bayang yang berjalan,
sepanjang pergantian tahun dan waktu
Dan aku,
mendengar cairan-cairan sejarah itu
Menetes antara daun-daun dan pucuk-pucuk randu,
yang selalu kita pungut dan merendanya jadi tirai abad ini
Di dada sungai
waktu mengalir perlahan,
Lengan-lengan peristiwa itu mengapung kokoh
diantara dua tebing tak terpisahkan
Anjungan masjid, suara kalam dan azan berlompatan
suara yang menjadi beribu-ribu keping-keping cahaya
menyebar dalam pendaran awan
Cahaya
yang menjadi sinar berkepanjangan,
matahari di jantung negeri ini
sepanjang abad berlari
Ketika aku
melewati jalan dan jejak-jejak masa lampau,
Desau napas di antara lalang-lalang menjulang,
aku membaca darah dan nyawa,
darah yang tumbuh dan mengalir dibawah kibar bendera,
Di jantung negeri ini,
tertimbun sejarah dan peristiwa,
dan kemerdekaan itu berdiri diatasnya
Hanyalah
tiang-tiang bayangan itu menjelaskan pada kita
Datuk Jabok, Abbas dan Mustafa
membentangkan jembatan antara air, mertais,
Abbas manan mengalirkan darah di dua tempat berbeda
seakan-akan waktu tidak lagi dapat kita temukan,
dan bayang-bayang yang berjalan terdinding tebal awan
Daun-daun berguguran,
antara hujan dan panas,
Daun-daun berguguran
diatas sungai dan perahu yang diam,
Daun-daun berguguran
antara kelopak tua matamu
Di negeri ini,
ketika payung itu mengembang
aku berteduh dibawahnya